Jakarta -
Akhir pekan lalu, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md mengatakan pemerintah tengah mewacanakan relaksasi kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang telah berlangsung di empat provinsi dan 22 kabupaten/kota.
Mahfud beralasan, jika dikekang terus masyarakat akan stres dan imunitas akan menurun. Selain itu, menurut Mahfud pemerintah juga mendapatkan banyak masukan terkait dampak sosial dan ekonomi akibat PSBB.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dua hari kemudian Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan penerapan PSBB yang dimulai pertama kali di Provinsi DKI Jakarta pada 10 April 2020 itu perlu dievaluasi. "Mana yang penerapannya telalu over, terlalu kebablasan, dan mana yang masih kendor," ujar Presiden Jokowi.
Presiden menegaskan evaluasi tersebut sangat penting dijalankan agar ada perbaikan dalam penerapannya. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu juga meminta bagi daerah yang melakukan PSBB agar memiliki target-target yang terukur.
Epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman, mengatakan langkah Presiden Jokowi untuk mengevaluasi jalannya PSBB sangat tepat. Menurut Dicky PSBB yang saat ini diterapkan memang tidak direncanakan dengan matang.
"Terutama dari aspek sosialisasi dan dukungan pada masyarakat," ujar Dicky yang juga kandidat doktor bidang Global Health Security and Pandemic, menyampaikan pandangannya kepada detikcom, Rabu (6/5/2020).
Namun Dicky mengingatkan, proses evaluasi itu tak bisa dilakukan serampangan. Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 harus melibatkan pakar epidemiologi dan penyakit menular. "Persoalannya sekarang, siapa yang mengevaluasi juga harus tepat, tak bisa sembarangan. Harus orang yang paham strategi menghadapi pandemi," katanya.
Tak cukup itu kolaborasi para ahli lintas disiplin ilmu harus menjadi bagian dalam evaluasi itu agar hasilnya jadi lebih komprehensif. "Jangan lupa libatkan para ahli terkait lainnya, seperti ahli ekonomi, sosiologi, dan juga psikologi," ujar Dicky.
Dicky sendiri berpendapat konsep PSBB yang berlaku saat ini selayaknya diubah meski ada daerah seperti Provinsi DKI Jakarta yang sudah menerapkan selama hampir satu bulan. Menurutnya lebih tepat jika dilakukan pada struktur wilayah terkecil atau sedang misalnya kelurahan atau kecamatan.
"PSBB parsial atau lunak, selain lebih efektif juga secara dukungan program seperti dana yang dibutuhkan lebih kecil. Di atas itu sudah sangat berat konsekuensinya. Masyarakat kalangan bawah terutama yg berpenghasilan tidak tetap akan terkena imbasnya. Ini yang disebut dengan efek kolateral pandemi," kata Dicky
"Tidak ada kata terlambat untuk mengubah. Sama halnya dengan larangan mudik juga tidak ada kata terlambat. Karena menyelamatkan setiap nyawa sangat penting," tuturnya.
Apalagi menurut Dicky, PSBB hanyalah hanyalah upaya pelengkap dalam menjamin terlaksananya strategi utama pandemi sekaligus memperlambat terjadinya penularan. Strategi utamanya yakni penguatan aspek pengetesan, pelacakan kasus dan isolasi.
"PSBB yang dilakukan tanpa penguatan strategi utama hanyalah sia sia," ujarnya. "Saya juga saya ingin mengingatkan kita semua, bahwa pandemi ini sangat berpotensi berlangsung lama, hingga obat atau vaksin ditemukan. Artinya penguatan strategi sangat penting."
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini