Gagasan kerja senyap KPK ala Firli Bahuri menjadi polemik dalam beberapa waktu terakhir. ICW mengkritik keras gagasan ini karena dianggap tidak transparan. Di sisi lain, Prof Romli Atmasasmita menyatakan tidak ada yang salah dengan gagasan itu.
ICW menganggap pimpinan melanggar UU KPK karena dianggap tidak akuntabel dan transparansi bahwa penetapan tersangka oleh KPK saat ini berbeda dengan yang sebelumnya. Jika sebelumnya tersangka diumumkan terlebih dahulu ke publik, baru ditangkap. Namun saat ini, ditangkap terlebih dahulu, baru diumumkan status tersangka.
Namun hal berbeda disampaikan Romli. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran ini menilai pimpinan KPK jilid V Firli Bahuri Cs mengedepankan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam menetapkan tersangka terlebih dahulu oleh penyidik, kemudian baru diumumkan ke publik dalam konfrensi pers.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Romli menilai kepemimpinan Firli Bahuri telah menerapkan prinsip perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka melalui proses pemeriksaan untuk memperoleh dua alat bukti yang cukup. Hal itu untuk menjaga harkat dan martabat seseorang. Romli mengingatkan, dalam Undang-undang (UU) KPK Nomor 19 tahun 2019 menyatakan bahwa salah satu tugas KPK adalah perlindungan HAM.
"Dua dari lima prinsip KPK yang harus diterapkan sejalan dengan prinsip pemuliaan dan perlindungan HAM," ujar Romli.
Sementara lanjut dia, kerja-kerja senyap sesuai UU KPK yang merupakan tindakan hukum yang bersifat pro justisia yang bersifat rahasia.
"Penangkapan atau OTT (operasi tangkap tangan) merupakan tindakan hukum yang masuk kedalam pro justisia dan bersifat rahasia. Bukan untuk konsumsi publik, termasuk media dalam konfrensi pers," ucap Romli.
Romli yang merupakan salah satu perumus UU KPK lama sekaligus pendiri ini menjelaskan bahwa UU lembaga anti rasuah hasil revisi memberikan perubahan ideologi pemberantasan korupsi dari penghukuman dan pemiskinan menjadi pemuliaan dan perlindungan HAM.
"Perubahan UU KPK tahun 2019 dari UU KPK Nomor 30 Tahun 2002, justru terletak pada perubahan ideologi pemberantasan korupsi dari penghukuman dan pemiskinan koruptor kepada pemuliaan dan perlindungan HAM tersangka atau terdakwa serta asset recovery selain penjeraan," tuturnya.
Oleh karena itu, lanjut Romli, berdasarkan perubahan cara dan tujuan tersebut, maka kerja-kerja KPK memang harus senyap, tetapi efisien dan efektif serta HAM seorang tersangka tetap terjaga dengan baik.
"Dengan demikian terdapat keseimbangan antara sanksi sosial dan sanksi hukum," sambungnya.
Lebih lanjut Romli menilai KPK dibawah kepemimpinan Firli Bahuri sudah sesuai dengan filosofi dan tujuan didirikan lembaga pemberantasan korupsi yang berdasarkan UU KPK yang baru tahun 2019 dan KUHAP serta UU HAM.
"Kepemimpinan Firli cs sesuai dengan filosofi dan tujuan yang telah saya uraikan di atas, yang melaksanakan tugas dan tanggung jawab sesuai UU KPK, KUHAP dan UU HAM untuk menempatkan KPK sebagai lembaga hukum yang dihormati, baik nasional maupun Internasional, khusus konvenan Internasional HAM," tegasnya
Berbeda halnya menurut Romli, pimpinan KPK jilid III di masa Abraham Samad (AS) yang keliru menerapkan dan menerjemahkan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam melaksanakan tugas-tugas penindakan.
"KPK jilid III AS cs keliru menerjemahkan prinsip transparansi dan akuntabilitas. KPK jilid V kepemimpinan Firli cs mengedepankan akuntabilitas kemudian transparansi," kata Romli kepada wartawan di Jakarta, Kamis (30/4/2020) malam.
Selain itu soal pimpinan KPK yang menghadirkan tersangka dalam konferensi pers, menurut Romli, hal itu tidak diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Namun diatur dalam UU KPK yang baru tahun 2019 pasal 6 yang intinya terkait prinsip asas praduga tak bersalah. Jadi harus menerapkan pencegahan dibandingkan penindakan.
"Di dalam KUHAP menghadirkan tersangka dalam konfrensi pers tidak diatur, akan tetapi dalam melaksanakan tugas KPK didalam Pasal 6, tidak dihadirkan tersangka merupakan keharusan yang sejalan dengan prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence)," paparnya.
"Khusus Pasal 6 yang heavy prevention daripada represif," tambah dia.
(dnu/fjp)