CEO media daring, Agustinus Edy Kristianto, merespons penjelasan Public Relations Lead Ruangguru, Sekar Krisnauli, terkait dua jenis sertifikat yang dikeluarkan oleh Skill Academy, yaitu sertifikat 'Completion' atau penyelesaian materi dan sertifikat 'Excellence'. Apa kata Agustinus?
Dalam unggahan di akun Facebook-nya, Agustinus mengakui bahwa dia tidak menonton 11 video di Skill Academy Ruangguru dari Program Kartu Pra Kerja secara utuh sehingga dia tidak mendapatkan sertifikat 'Completion'. Namun Agustinus menyebut sertifikat 'Completion' bisa didapat hanya dengan cara mempercepat video di pelatihan tersebut.
"Nah, sekarang saya sudah 'selesaikan' ke-11 video itu. Kenapa saya pakai tanda kutip? Kalau kemarin itu saya sama sekali tidak buka video 2-11, sekarang saya buka semuanya. Tapi saya percepat saja menitnya atau fast forward supaya cepat selesai. Saya tidak simak materi videonya. Hasilnya tanda centang hijau di setiap video. Artinya, saya sudah menyelesaikan. Sampai tertulis progress 100%. Saya kasih bintang 3 lagi. Saya isi review: Salam 5,6 Triliun. Saya unduh sertifikat. Keluar Certificate of Completion. Diteken oleh Director Skill Academy Iman Usman," tulis Agustinus Edy dalam akunnya pada Kamis (30/4/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menanggapi Ruangguru yang mengatakan sertifikat dari Skill Academy adalah sertifikat yang dikeluarkan oleh lembaga swasta sebagai tanda partisipasi dan tidak untuk menyertifikasi profesi, Agustinus menganggap itu sebagai hal yang sah. Menurutnya, melalui pernyataan itu, masyarakat dapat semakin menyadari bahwa sertifikat Kartu Pra Kerja bukanlah bukti atas sebuah kompetensi, melainkan hanya tanda partisipasi belaka.
"Menurut saya, sah-sah saja berkata begitu. Tapi kan positifnya adalah sekarang masyarakat jadi jelas bahwa sertifikat prakerja itu jangan dibayangkan sebagai sebuah bukti kompetensi profesi/sertifikasi profesi. Itu hanya TANDA PARTISIPASI atau PENGUASAAN MATERI. So, jangan sekali-kali dipakai buat melamar kerja," kata Agustinus.
Selain itu, Agustinus mengungkapkan keluh kesahnya kepada Presiden Joko Widodo terkait Kartu Pra Kerja. Menurutnya, bantuan insentif Rp 600 ribu per bulan harus diprioritaskan daripada program pelatihan di platform digital apabila pemerintah ingin menolong korban PHK.
"Yang membuat saya gundah-gulana adalah sampai hari ini, dengan sebegitu banyak kritik masyarakat terhadap program pembelian video pelatihan Rp 5,6 triliun, Presiden Jokowi sama sekali belum bersuara tentang rencana mengevaluasi atau membatalkan program itu. Hari ini Presiden malah bermanuver dengan berkata Kartu Prakerja diprioritaskan untuk korban PHK," sesal Agustinus.
"Tentu korban PHK perlu ditolong segera. Jika ingin menolong tentu prioritas adalah pemberian insentif tunai Rp 600 ribu/bulan itu. Bukan beli pelatihan dengan saldo nontunai Rp 1 juta di platform digital. Kekuatan 'gaib' apakah yang bisa sedemikian melindungi proyek Rp 5,6 triliun ini," kata Agustinus.
Berikut ini merupakan pernyataan lengkap dari Agustinus Edy:
Hari ini ada 'surat cinta' dari Ruangguru yang dirilis ke publik melalui media massa.
"Pernyataan Perusahaan Terkait Tulisan Sdr. Agustinus Edy Kristianto Mengenai Skill Academy dalam Kartu Prakerja."
Tertera di situ nama Sekar Krisnauli (ini Sekar putri Bang Akbar Tanjung Golkar kan?) dalam kapasitas sebagai Public Relation Lead Ruangguru.
Rilis itu saya lampirkan utuh di bawah status ini.
Saya menghargai respons perusahaan. Secara substansi, memang yang disampaikan betul. Saya juga menuliskannya begitu pada tulisan saya sebelumnya.
KLAIM
"Ketika menulis artikel tersebut, Sdr. Agustinus hanya menunjukkan Certificate of Excellence karena yang bersangkutan telah menyelesaikan ujian akhir, bukan Certificate of Completion karena belum melengkapi seluruh materi yang ada."
KOMENTAR
Memang betul begitu. Certificate of Excellence yang saya tunjukkan.
Saya hanya menonton video pertama (dari 11 video yang tersedia) selama kira-kira 3-5 menit. Lalu saya isi exam (13 pertanyaan). Hasilnya melampaui passing grade 55 (dari 13 pertanyaan, salah 3). Saya kasih rating bintang 3. Saya isi review: Salam 5,6 Triliun.
Kemudian saya unduh sertifikat. Keluar itu: Certificate of Excellence. Diteken oleh CEO Skill Academy Adamas Belva Syah Devara.
"For Successfully Passing The Final Exam On Online Course"
Beres.
Nah, sekarang saya sudah 'selesaikan' ke-11 video itu. Kenapa saya pakai tanda kutip?
Kalau kemarin itu saya sama sekali tidak buka video 2-11, sekarang saya buka semuanya. Tapi saya percepat saja menitnya (fast forward) supaya cepat selesai. Saya tidak simak materi videonya.
Hasilnya tanda centang hijau di setiap video. Artinya saya sudah menyelesaikan. Sampai tertulis progress 100%.
Saya kasih bintang 3 lagi. Saya isi review: Salam 5,6 Triliun. Saya unduh sertifikat. Keluar Certificate of Completion. Diteken oleh Director Skill Academy Iman Usman.
"For Successfully Completing All Contents On Online Course"
Saya lampirkan kedua sertifikat itu.
Dalam rilisnya, Ruangguru berkata: "Sertifikat yang diterbitkan oleh Skill Academy adalah sertifikat yang dikeluarkan oleh lembaga swasta sebagai tanda partisipasi atau penguasaan materi silabus kelas terkait dan tidak dimaksudkan untuk menyertifikasi profesi. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh Manajemen Pelaksana Kartu Prakerja."
Menurut saya, sah-sah saja berkata begitu.
Tapi kan positifnya adalah sekarang masyarakat jadi jelas bahwa sertifikat prakerja itu jangan dibayangkan sebagai sebuah bukti kompetensi profesi/sertifikasi profesi. Itu hanya TANDA PARTISIPASI atau PENGUASAAN MATERI.
So, jangan sekali-kali dipakai buat melamar kerja.
Kalau pikiran pendek saya soal sertifikat itu simpel saja: baik Certificate of Excellence maupun Certificate of Completion ditandatangani oleh dua pemegang saham biasa (ordinary stock) Ruangguru PTE. LTD Singapura, sebanyak 432.922 lembar masing-masing.
Ruangguru PTE. LTD Singapura adalah pemegang 99,9% saham PT Ruang Raya Indonesia.
Kan keren.
Soal rating kelas pelatihan dan instruktur yang disebut "pakar bidang yang telah melalui proses seleksi ketat", saya no comment. Seperti tanggapan pada status saya sebelumnya.
Silakan saja masyarakat menilai.
Hari ini saya juga diwawancarai oleh wartawan dari berbagai media antara lain Majalah Tempo, Jakarta Post, IDN Times, dan Detikcom, yang meminta izin mengutip status saya.
Pertanyaan menelisik dan lumrah adalah apakah saya memasukkan data diri saya dengan jujur saat mengisi form pendaftaran prakerja?
Saya jawab betul. NIK, foto KTP, dan foto selfie dengan KTP saya asli.
Saya isi pekerjaan wiraswasta. Tidak kena PHK.
Wartawan Jakarta Post mengecek data saya di Manajemen Pelaksana dan dijawab bahwa saya mendaftar sebagai "wiraswasta yang terdampak COVID-19".
Katanya, menurut Manajemen Pelaksana, saya termasuk dalam 20% kelompok masyarakat umum, sedangkan kelompok pekerja terdampak yang sudah didata oleh berbagai kementerian dan akan diprioritaskan alokasinya 80%.
Saya ingat-ingat lagi, apakah ada pertanyaan terdampak/tidak terdampak COVID-19 itu, agak samar memang. Kalau wiraswasta dan tidak PHK itu ada. Tapi anggap saja ada. Dan itu benar. Pekerjaan dan penghasilan saya memang terdampak COVID-19 juga.
Wartawan Jakarta Post mengejar lagi. Menurut Manajemen Pelaksana ada pertanyaan tambahan seperti besaran turunnya pendapatan atau semacamnya untuk memastikan peserta benar-benar terdampak COVID-19.
Kalau pertanyaan itu saya jawab TIDAK ADA.
Ada-ada saja.
Semua yang saya sampaikan di atas hanyalah sampiran. Bukan inti persoalan.
Yang membuat saya gundah-gulana adalah sampai hari ini, dengan sebegitu banyak kritik masyarakat terhadap program pembelian video pelatihan Rp5,6 triliun, Presiden Jokowi sama sekali belum bersuara tentang rencana mengevaluasi/membatalkan program itu.
Hari ini Presiden malah bermanuver dengan berkata Kartu Prakerja diprioritaskan untuk korban PHK.
Tentu korban PHK perlu ditolong segera. Jika ingin menolong tentu prioritas adalah pemberian insentif tunai Rp600 ribu/bulan itu. Bukan beli pelatihan dengan saldo nontunai Rp1 juta di platform digital.
Kekuatan 'gaib' apakah yang bisa sedemikian melindungi proyek Rp5,6 triliun ini?
Saya juga mendengar informasi-mungkin guyonan-di beberapa kalangan politisi bahwa proyek Rp5,6 triliun itu perlu diramaikan. Alasannya adalah, "Makanya jangan main sendirian. Bagi-bagilah."
Waduh.
Saya juga agak miris dengan pandangan beberapa milenial yang berkata bahwa saya tidak pantas menjadi wiraswasta. Wiraswasta itu pragmatis, tidak kritis-apalagi sampai menulis di medsos mengkritik pemerintah, tapi jeli melihat peluang.
Saya itu lebih pantas menjadi LSM atau wartawan (saya memang tidak aktif lagi sebagai wartawan tetapi lebih banyak mengurusi bisnis perusahaan).
Itu racun pikiran. Siapa yang mengajari mereka? Bagaimana bisa "jeli melihat peluang" diartikan menggoreng proyek berbiaya APBN sampai Rp5,6 triliun saat pandemi begini?
Moral dan etika dalam bisnis-dan di segala bidang-adalah nilai yang penting.
Manusia yang mengontrol uang. Bukan uang mengontrol manusia.
Semakin tinggi harkat dan martabat pebisnis, semakin ia tidak boleh mengambil makanan orang lain secara brutal.
Itu kalau menurut saya.
Tapi, sudahlah.
Kita harus fokus pada tujuan membendung transaksi Rp5,6 triliun itu dengan cara-cara yang patut dan demokratis.
Saya ingat cerpen sastrawan Rusia Leo Tolstoy berjudul: God Sees the Truth, but Waits.
Tuhan tahu, tapi Dia menunggu.
Salam 5,6 Triliun.