Puasa: Memanusiakan Manusia

Kolom Hikmah

Puasa: Memanusiakan Manusia

M. Makmun Rasyid - detikNews
Kamis, 30 Apr 2020 16:55 WIB
M. Makmun Rasyid
Foto: Dokumen pribadi
Jakarta - Indonesia laksana kapal besar. Berada dalam pusaran gelombang yang dahsyat. Seyogyanya kita mampu mengeluarkan bahtera dari situasi limbung sekalipun. Lebih-lebih dalam situasi genting, kala Indonesia ikut diterpa badai wabah yang mengharuskan gotong royong; pembanting tulang bersama, pemerasan keringat bersama, dan perjuangan saling bantu-membantu bersama. Yang semuanya itu implementasi dari Pancasila.

Sila pertama dari Pancasila berupa ketuhanan harus menyejarah dalam kehidupan masyarakat dan politik Nusantara. Usaha-usaha untuk mencerabutnya di bumi pertiwi pernah terjadi, tapi selalu gagal, khususnya di akhir periode kolonial. Indonesia tidak mungkin berlayar tanpa panduan agama. Saham agama begitu besar dalam kendali para pemimpin bangsa dan aktor-aktor Nusantara.

Perjalanan yang panjang, pergulatan yang sengit, dan perjuangan akan kemerdekaan dalam 'menemukan' Indonesia, sama dengan perjalanan manusia menjumpai Tuhan. Para pemandu kerap berujar, ada banyak jalan menuju-Nya. Satu dengan lainnya berbeda pengalaman. Tapi tujuannya sama: membebaskan diri dari kemelekatan duniawi yang menyebabkan tiga sifat negatif hadir; kesedihan yang berkepanjangan, kelelahan yang tidak berkesudahan dan kerugian yang tak berujung.

Sebab itu, para pendaras di belahan muka bumi kerap bermunajat, "Ya Tuhan, janganlah Engkau jadikan hati kami condong pada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk pada kami" (Qs. Ali Imrân [3]: 8). Munajat para penapak jalan tidak akan menemukan-Nya kala dunia masih menjadi raja dalam diri. Tak akan terpandu dalam sepanjang jalan menuju tujuan yang sesungguhnya.

Jeda dari rutinitas duniawi inilah, kehadiran puasa sangat berarti. Manusia dalam menahkodai dan menempuh jalan apa pun, tetap melibatkan-Nya. Mengajak untuk mengaktifkan kembali hati nurani yang telah lama pergi dari diri. Mengembalikan persatuan dengan tetap menghargai perbedaan. Sebab kita, bhinneka tunggal ika. Bersatu dalam keragaman dan mewujudkan sikap welas asih antar-sesama menjadi tonggak perikehidupan dalam bangsa yang merdeka.

Suasana berpuasa yang diselimuti oleh keletihan melawan virus, kesusahan ekonomi, kegundah gulanan hingga duri yang menusuk seorang Muslim (manusia) akan menjadi catatan berharga oleh-Nya. Di sepanjang lintasan ada hambatan yang membutuhkan ketaatan yang lebih pada-Nya. Dalam proses pengupayaan kembali hadirnya "mental spiritual" (tata nilai) dan "material teknologikal" (tata sejahtera) dalam bumi pertiwi dibutuhkan konsistensi menjadi mahluk terbaik-Nya. "Siapa yang tak istiqamah (konsisten) dalam tahapannya, kondisi batinnya akan rapuh dan segala upayanya akan mudah runtuh". Demikian lebih kurang ucapan Imam Qusyairi.

Tahapan menuju "memanusiakan manusia" akan banyak kerikil dan jalan yang amat curam. Kekuatan spiritual yang dibangun secara terus menerus akan menjadi bekal dan pegangan para penapak jalan. Memandu para pencari-Nya agar waspada dalam badai dan godaan dunia yang dibuat-Nya penuh kesilauan. Khususnya hiruk pikuk media sosial yang mengerikan, polarisasi yang cukup akut dan algoritma medsos yang menebalkan identitas perkubuan.

Masuk ke dalam Ramadan secara totalitas menjadi keniscayaan adanya. Di dalamnya kita semua dirawat dan dibentuk kembali oleh-Nya menjadi manusia sejati. Kemandirian spiritual pun akan ditemui dan antar-nilai saling berkelindan dan menguatkan. Proses pembukaan hati nurani yang selama ini tunduk pada arahan nafsu, puasa memolesnya dan mensterilisasinya. Harapannya, setelah proses perawatan mesin, objek yang tampak di pelupuk mata tidak serta dijustifikasi sebagai kesesatan atau kekufuran.

Godaan yang hadir dalam proses perbaikan diri memang beragam, namun pemicunya adalah keragu-raguan dan rasa malas. Dari keduanya ketetapan hati akan meredup dan padam. Ia akan kehilangan ketetapan hati menuju-Nya. Laksana berperang, ia mundur sebelum berperang. Kemudian disertai oleh takut akan bayang-bayang dan lebih banyak memilih berada di pinggir jalan sembari mengamati pejalan lain. Yang hadir dalam pikirannya, kelak ia 'mendompleng' dengan pejalan yang itu karib kerabatnya. Lebih dari itu, banyak manusia yang lebih suka bergumul di tengah ruang antara komedi dan tragedi berbaur.

Sahabatku, puasa ini hidangan-Nya. Hidangan itu akan meneguhkan jalan dan menyingkirkan keputus asaan dalam hidup. Ia hadir untuk menguatkan hati dalam perjuangan untuk menempuh onak dan duri kehidupan yang amat perih ini. Menggeser kesedihan yang didorong atas keadaan ekonomi yang stagnan menuju kebahagiaan dan kenyamanan. Sebab itulah, Tuhan memandu kita, dalam urusan dunia kita melihat ke bawah, dan dalam urusan akhirat kita melihat ke atas.

Saat melihat ke atas, manusia dilarang untuk memperebutkan pahala dan menyusun harapan yang menumpuk. Melihat ke atas dalam rangka menjadikan aktivitas spiritual sebagai kebutuhan, laksana cinta dalam kehidupan laki-perempuan. Dengan begitu, obsesi kita dalam meniti kehidupan akan mengalir. Pencari jalan bukanlah pedagang yang sibuk menghitung untung rugi sebuah persoalan. Tuhan ingin kita, dalam menuju-Nya disebabkan kita butuh pada-Nya, yang hadir disisi-Nya tanpa pamrih apa-apa.

Disinilah puasa dihadirkan sebagai pendewasaan dalam beragama. Kedewasaan itulah yang menghantarkan seseorang menjadi pribadi yang lemah lembut, pengayom dan pemandu bagi mereka yang dilihatnya berada di persimpangan jalan, yang bimbang dan linlung akan tujuan hidup ini. Ia pun menyapu air mata yang tertumpah ruah di wajah-wajah orang miskin; menghapus kesedihan yang telah bersemadi di dasar hati orang-orang yang terkena dampak pandemik ini; dan 'menyapu' keringat di wajah-wajah para pejuang bangsa.

Sebab itulah, Tuhan menyelipkan satu ayat dalam Qur'an di antara ayat-ayat yang mewajibkan puasa (baca Qs. Al-Baqarah [2]: 186). Mengapa? Tuhan berkata, jangan cari Aku di mana-mana, tapi aku ada didekatmu. Keinginan akan dikabulkan-Nya setelah perintah-Nya dijalankan dan diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Bung Karno pernah bertutur, "orang tidak dapat mengabdi pada Tuhan dengan tidak mengabdi pada manusia". Dan makna tertinggi dari "muttaqîn" (orang-orang bertakwa)-sebagai akhir dari ayat 183-adalah memanusiakan manusia.

Inti itulah yang hilang di publik saat ini. Maka mudah kita mendapatkan dalam ruang politik misalnya, yang seperti medan konflik. Politik kehilangan jiwanya; mengatur manusia dengan penuh ketulusan dan keluhuran, sebagaimana yang dicontohkan Nabi kala membangun Madinah. Dimana Nabi menyatukan jiwanya agama dan negara secara substantifik. Nabi tidak mungkin menyatukan raga keduanya, karena terlahir dari rahim yang berbeda. Tapi, sebagai pembawa agama ia menilai perlunya kehadiran nilai-nilai agama dalam berpolitik, bernegara dan bermasyarakat. Menurut Nabi, ketuhanan harus mewujud dalam segala ruang dan tempat, agar manusia tidak hampa dalam menahkodai perjalanan panjangnya.

M. Makmun Rasyid

Dewan Ahli Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama

*Materi dan isi artikel ini adalah kiriman pembaca. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab pembaca.

(erd/erd)

Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads