Jakarta -
Enam terdakwa kasus makar, yakin Paulus Suryanta Ginting, Charles Kossay, Ambrosius Mulait, Isay Wenda, Anes Tabuni, dan Arina Elopere, akan menghadapi sidang putusan siang ini. Keenam terdakwa disebut menuntut kemerdekaan Papua saat demo di depan Istana Negara dan Mabes TNI AD.
Sidang pembacaan putusan itu akan dilakukan pada pukul 13.00 WIB di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Selain itu, putusan tersebut akan disiarkan secara live di akun YouTube KontraS dan FRI WP Media serta akun IG @lbh_jakarta.
Kuasa hukum para terdakwa, Oky Wiratama Siagian, berharap majelis hakim akan membebaskan para terdakwa. Menurutnya, para terdakwa tidak melakukan perbuatan makar seperti yang didakwakan, melainkan hanya menyampaikan pendapat sebagai respons terkait peristiwa di Surabaya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Harapannya semoga hakim membebaskan enam aktivis Papua. Karena mereka tidak melakukan makar/serangan terhadap negara. Keenam aktivis hanya aksi secara damai sesuai UU 9/98 merespons rasisme," kata Oky, dalam keterangannya, Jumat (24/4/2020).
Sebelumnya, terdakwa Paulus Suryanta Ginting, Charles Kossay, Ambrosius Mulait, Anes Tabuni, dan Arina Elopere dituntut 1 tahun 5 bulan. Sementara terdakwa Isay Wenda dituntut 10 bulan dengan perintah para terdakwa tetap ditahan.
Jaksa menilai terdakwa terbukti bersalah melanggar Pasal 106 KUHP jo Pasal 55 ayat 1 KUHP. Adapun hal yang memberatkan ialah terdakwa mengganggu keutuhan dan dapat memecah belah NKRI, mengganggu stabilitas dan keamanan negara, mengganggu ketertiban umum, serta terdakwa memberikan keterangan berbelit-belit. Sementara hal yang meringankan, terdakwa Isay Wenda tidak berbelit-belit dan tegas memberikan surat pernyataan mengakui WNI dan mencintai NKRI.
Kasus itu bermula pada Minggu, 18 Agustus 2019, terkait pertemuan Paulus Suryanta Ginting, Charles Kossay, Ambrosius Mulait, Isay Wenda, Anes Tabuni, dan Arina Elopere dengan beberapa koordinator wilayah persatuan mahasiswa dan pemuda Papua di Jakarta. Dalam pertemuan itu, mereka bersepakat menggelar unjuk rasa di depan Mabes TNI AD dan Istana Negara untuk merespons insiden rasisme di Surabaya terhadap masyarakat Papua.
Selanjutnya, pada Kamis, 22 Agustus 2019, para terdakwa bersama peserta demo lainnya sekitar 200 orang menggelar unjuk rasa di depan Istana Negara dan Mabes TNI AD. Adapun unjuk rasa itu digelar dengan tuntutan rasisme, menyuarakan referendum, dan menuntut kemerdekaan Papua.
Para terdakwa melakukan aksinya dengan cara membuka baju, mengibarkan bendera Bintang Kejora, serta melukis wajah dan dada mereka dengan bendera Bintang Kejora.
Selanjutnya, para terdakwa dengan koordinator wilayah dan pemuda Papua kembali mengadakan pertemuan untuk melakukan evaluasi terhadap aksi unjuk rasa sebelumnya, serta merencanakan demo kembali dengan jumlah massa yang lebih besar pada 28 Agustus. Dalam aksi 28 Agustus, para terdakwa dan rekan lainnya membagi tugasnya.
Berikut ini peran para terdakwa yang bertugas aksi yang disebut jaksa:
- Charles Kossay sebagai koordinator lapangan
- Ambrosius Mulait sebagai humas
- Mathius Wanda dan Elly Kossay sebagai penanggung jawab logistik berupa makanan dan minuman
- Tasya Mariam sebagai bendahara
- Mathius sebagai mengurus bagian kendaraan peserta aksi dan mobil komando
- Ricky Cuan sebagai mengurus spanduk, pengeras suara, poster, dan menyediakan bendera Bintang Kejora untuk dibagikan ke peserta aksi
- Paulus Suryanta Ginting, Charles Kossay, Ambrosius Mulait, Isay Wenda, dan Anes Tabuni menyepakati agenda unjuk rasa dengan tuntutan penolakan rasisme, penolakan kebijakan otonomi khusus Papua, menuntut hak menentukan nasib sendiri atau referendum, dan menuntut kemerdekaan Papua.
Dalam rapat itu, jaksa mengatakan, Isay ditunjuk sebagai penanggung jawab aksi dan menamai aksi sandi Komunitas Monyet Papua Jakarta. Sedangkan Ambrosius sebagai notulis mengirimkan hasil rapat di grup WhatsApp yang bernama Monyet Papua Jakarta.
Pada 28 Agustus 2019, jaksa mengatakan para terdakwa bersama beberapa koordinator wilayah persatuan mahasiswa dan pemuda Papua di Jakarta melakukan aksi di depan Istana Negara dan Mabes TNI AD. Mereka melakukan orasi secara bergantian, yaitu sebagai berikut:
1. Meminta pemerintah Republik Indonesia melakukan referendum di Papua agar Papua menjadi Negara Papua Merdeka yang memisahkan diri dari Negara Republik Indonesia.
2. Menuntut diprosesnya orang-orang yang berbuat rasis terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, menuntut kemerdekaan atau referendum bagi Papua atau diadakan referendum bagi Papua dengan maksud melepaskan wilayah Papua dan Papua Barat dari Indonesia dan mengibarkan bendera Bintang Kejora sebagai simbol Papua Merdeka.
"Bahwa tindakan para terdakwa sebagaimana disebut di atas merupakan perbuatan makar dengan maksud untuk memisahkan Papua dan Papua Barat dari Negara Kesatuan Republik Indonesia," kata jaksa.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini