Akhir-akhir ini, apakah Anda merasakan suhu tengah memanas dan cenderung gerah, khususnya di siang hari? Badan Meteorogogi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memberikan penjelasan terkait fenomena tersebut.
Deputi Bidang Klimatologi BMKG Herizal mengatakan jika suhu panas umumnya disebabkan oleh suhu udara yang tinggi dan disertai oleh kelembaban udara yang rendah, terutama terjadi pada kondisi langit cerah dan kurangnya awan. Sesuai dengan prediksi BMKG, jika pada bulan-bulan ini beberapa wilayah Indonesia mengalami berkurangnya tutupan awan akibat sedang berada pada masa transisi dari musim hujan ke musim kemarau.
"Secara klimatologis, bulan April-Mei-Juni memang tercatat sebagai bulan di mana suhu maksimum mengalami puncaknya di Jakarta. Pola tersebut mirip dengan pola suhu maksimum di Surabaya, sementara di Semarang dan Jogjakarta pola suhu maksimum akan terus naik secara gradual pada bulan April dan mencapai puncaknya pada bulan September hingga Oktober," kata Herizal dalam keterangan tertulis yang diterima detikcom, Kamis (23/4/2020).
Baca juga: Studi: Kutub Utara Hilang Sebelum Tahun 2050 |
Meski BMKG menyatakan tingginya suhu maksimum akhir-akhir ini tidak dapat dikatakan secara langsung akibat perubahan iklim, namun BMKG memiliki catatan khusus terkait hal itu. Dalam analisis perubahan iklim oleh peneliti BMKG, disebutkan jika tren suhu maksimum di Jakarta telah meningkat signifikan sebesar 2,12Β°C per 100 tahun.
"Demikian pula yang tercatat pada lebih dari 80 stasiun BMKG untuk pengamatan suhu udara di Indonesia dalam periode 30 tahun terakhir," ujar Herizal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sima video Tak Hanya di Solo, Fenomena Ribuan Cacing Juga Muncul di Klaten:
BMKG menyebutkan jika tren suhu udara yang terus meningkat tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga banyak tempat di dunia. Lebih lanjut, BMKG juga menjelaskan jika tren pemanasan suhu udara permukaan juga diikuti oleh tren pemanasan di lautan. Secara umum, BMKG menyebutkan suhu permukaan laut terhangat secara global terpantau terjadi dalam periode 6 tahun terakhir.
"Terus menghangatnya suhu udara permukaan dan suhu permukaan laut secara global serta kontras antar keduanya dapat memicu perubahan dinamika cuaca dan iklim di suatu wilayah, serta dapat meningkatkan frekuensi dan intensitas kejadian cuaca ekstrem ataupun badai tropis," ujar Herizal.
BMKG mencatat, bulan April hingga Mei suhu permukaan laut di wilayah Indonesia terpantau masih cenderung hangat. Hal ini menandakan dinamika suhu permukaan laut di perairan Indonesia masih berpotensi dan sesuai untuk tumbuhnya badai tropis.
Atas dasar itu, BMKG menyebutkan jika perubahan iklim telah terjadi di wilayah Indonesia. Hal tersebut ditandai dengan adanya kenaikan suhu yang mencapai 2,12Β° C dalam periode 100 tahun.
BMKG juga menyebutkan efek dari perubahan iklim di Indonesia tersebut bisa dilihat dengan meningkatnya frekuensi kejadian dan intensitas curah hujan ekstrem dalam 30 tahun terakhir. Contoh lainnya adalah dengan makin menghangatnya suhu muka air laut yang memicu badai tropis di wilayah selatan Indonesia (Samudera Hindia) atau di wilayah utara Indonesia (Samudera Pasifik bagian barat).
"Fenomena ini merupakan indikasi dari proses perubahan iklim yang sedang terjadi dan perlu untuk lebih diantisipasi atau dimitigasi mengingat peningkatan frekuensi dan intensitas kejadian ekstrem dapat menimbulkan efek makin parah dalam kehidupan manusia," ujar Herizal.
Namun, terkait perubahan suhu udara tinggi yang terjadi hari ini di Indonesia, BMKG kembali menekankan jika hal tersebut bukan karena efek dari perubahan iklim.
"Untuk fenomena suhu udara tinggi yang terjadi saat ini, tampaknya lebih dikontrol oleh pengaruh posisi gerak semu matahari dan mulai bertiupnya angin monsun kering dari benua Autralia. Hal itu yang berdampak pada kurangnya tutupan awan di atas wilayah Indonesia, sehingga sinar matahari langsung mencapai permukaan bumi tanpa adanya penghalang awan," pungkasnya.