Beberapa hari lalu sejumlah alat pelindung diri (APD) berupa pakaian dekontaminasi dan sarung tangan biru bekas pakai ditemukan dalam selokan kawasan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Limbah medis ini dibuang orang tak dikenal yang menumpang ambulans.
Berapa banyak limbah medis ini pada masa pandemi COVID-19 ini? Bagaimana pula cara pengelolaannya? Direktorat Jenderal Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan saat ini telah terjadi kenaikan volume limbah.
Dirjen PSLB3 KLHK Rosa Vivien Ratnawati menyebut berdasarkan informasi dari Persatuan Rumah Sakit Indonesia (Persi), perkiraan penambahan volume timbulan limbah sekitar 30%. "Datanya masih diupdate terus menerus selama periode penanganan darurat ini," ujarnya pada detikcom, Senin (13/4/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terkait volume timbulan limbah medis dalam masa pagebluk COVID-19 ini pakar lingkungan Lina Tri Mugi Astuti mencoba mengambil studi kasus dari data di China sebagai bahan pembanding. Di China, kapasitas pembuangan limbah medis yang semula 4.902,8 ton/hari kemudian meningkat menjadi 6.066,8 ton/hari.
"Jika volume timbulan limbah itu dikonversi ke jumlah pasien, maka rata-rata pasien COVID-19 ini bisa menyumbang sampai 14,3 kg limbah medis per hari," ujar Lina yang juga Sekretaris Jenderal Perkumpulan Ahli Lingkungan Indonesia itu pada detikcom.
Vivien menjelaskan dalam penanganan COVID-19 memerlukan sejumlah peralatan, seperti alat pelindung diri serta alat dan sampel laboratorium. Setelah benda-benda itu digunakan, statusnya jadi limbah infeksius atau masuk kategori limbah B3.
Karena penyakit COVID-19 sangat mudah proses penularannya, penanganan limbah medisnya pun butuh protokol khusus. KLHK sudah mengeluarkan Surat Menteri LHK No. 167/2020 kepada Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana serta Surat Edaran Menteri LHK No. 02/2020.
"Intinya penanganan limbah medis dari COVID-19 ini adalah darurat dengan prioritas pemusnahan sesegera mungkin," ujarnya.
![]() |
"Limbah dari COVID-19 ini harus dikelola sebagai limbah B3 untuk mengendalikan, mencegah, dan memutus penularan COVID-19 serta menghindari penumpukan limbah," sambung Vivien lagi.
Baca juga: Misteri Ambulans Pembuang APD di Jagakarsa |
Terkait limbah infeksius COVID-19 pada fasilitas layanan kesehatan, Kementerian KLH memberi petunjuk agar limbah infeksius disimpan dalam kemasan tertutup paling lama dua hari sejak dihasilkan.
Fasilitas layanan kesehatan diharuskan mengangkut atau memusnahkan limbah tersebut pada pengolahan limbah B3. Pemusnahan dilakukan dengan memakai insinerator bersuhu minimal 800 derajat Celsius. Pilihan lain memakai autoclave atau wadah bertekanan tinggi untuk sterilisasi yang dilengkapi dengan pencacah.
Tak berhenti pada titik itu, residu hasil pembakaran atau cacahan hasil autoclave harus dikemas dan dilekati simbol 'beracun' dan label limbah B3. Kemasan ini disimpan di tempat penyimpanan sementara limbah B3 lalu kemudian diberikan kepada pengelola limbah B3.
Vivien juga memaparkan limbah ini tak hanya berasal dari fasilitas layanan kesehatan. Rumah-rumah tempat dilakukan isolasi mandiri oleh Orang Dalam Pemantauan (ODP) juga menghasilkan limbah infeksius.
Limbah ini harus dikumpulkan dan dikemas tersendiri dengan memakai wadah tertutup yang bertulisan 'Limbah Infeksius'. "Seperti masker, sarung tangan, tisu adalah dalam konteks darurat dikumpulkan tersendiri dan dipisahkan dari sampah rumah tangga sehari-hari," ujarnya.
![]() |
Selanjutnya, petugas dari dinas lingkungan hidup, kebersihan, dan kesehatan melakukan pengambilan dari setiap sumber untuk diangkut ke lokasi pengumpulan sebelum diserahkan ke pengolah limbah B3. Petugas yang mengambil pun harus dilengkapi masker, sarung tangan, dan sepatu khusus.
Berdasarkan data KLHK per 9 April 2020, telah ada 110 insinerator dan 4 autoclave berizin dari KLHK yang dimiliki rumah sakit yang tersebar di seluruh Indonesia. Namun, menurut Vivien, diperkirakan banyak juga alat pemusnah yang belum terdata.
"Periode darurat penanganan limbah COVID-19 ini, fasilitas insinerator atau autoclave yang ada, kita harapkan dapat dimaksimalkan pengoperasiannya oleh para pemilik alat untuk dapat membantu pemusnahan," kata Vivien.
Sementara itu, bagi daerah yang belum memiliki insinerator berizin, Vivien meminta pemerintah setempat berkoordinasi dengan kementerian terkait untuk memanfaatkan insinerator di daerah terdekat. "Upaya lainnya dengan melibatkan pemilik jasa pengelola limbah medis," katanya.
Pakar lingkungan Lina memberi beberapa catatan terkait limbah infeksius di rumah tangga. Menurutnya, limbah seperti masker bisa disterilkan secara mandiri sebelum dibuang. "Cukup direndam detergen atau pemutih selama sejam. Kemudian dibilas dan digunting lalu dibuang. Ini sudah aman," katanya.