"Sudah barang tentu di dalam self-monitoring atau pada saat rapid test massal ini kita temukan kasus positif, disertai gejala-gejala moderat, gejala-gejala sakit yang sedang, maka harus tetap dilakukan konfirmasi dengan menggunakan pemeriksaan PCR. Karena ini menjadi penting, PCR memiliki sensitivitas yang jauh lebih tinggi dibanding pemeriksaan rapid," kata Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Virus Corona, Achmad Yurianto, di Graha BNPB, Jakarta Timur, Kamis (19/3/2020).
Rapid test massal dilakukan untuk meyakinkan seseorang terinfeksi virus Corona atau tidak. Bila terkonfirmasi terjangkit Corona, pasien akan dirawat di rumah sakit.
"Tetapi pemeriksaan rapid ini di dalam rangka untuk meyakinkan masyarakat, apakah dirinya tertular atau tidak. Apabila tertular, dimaknai bahwa dirinya harus dirawat di rumah sakit," ujar Yurianto.
Lebih lanjut, Yurianto mengatakan rapid test dibarengi isolasi mandiri (self-isolation). Bila mengalami kondisi buruk, pasien tersebut akan dirawatinapkan.
"Tentunya rapid test ini akan juga diikuti di samping sosialisasi tentang self-isolation atau isolasi diri, juga akan diikuti dengan penambahan sarana rawat inap apabila memang pasien itu pada kondisi sakit sedang atau sakit berat," imbuh Yuri.
Sebelumnya, pemerintah merencanakan dilakukannya rapid test untuk mendeteksi ada-tidaknya virus Corona (COVID-19) di tubuh seseorang. Mereka yang pernah kontak dengan pasien positif virus Corona diprioritaskan untuk dilakukan rapid test.
"Siapa saja targetnya? Tentunya targetnya adalah masyarakat secara luas, terutama mereka yang secara fisik telah mengalami kontak dengan pasien positif. Tentunya ini menjadi prioritas utama. Kalau seluruh masyarakat harus mendapat rapid test ini, mungkin akan sangat sulit," ujar Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Letjen Doni Monardo seusai rapat terbatas dengan Presiden Jokowi, Kamis (19/3).
Presiden Jokowi Instruksikan 'Rapid Test' Corona dalam Cakupan Besar:
(rfs/azr)