Koalisi masyarakat sipil mengkritik pemerintah yang menangani virus Corona. Mereka menuntut pemerintah lebih serius menangani pandemi ini.
Koalisi masyarakat sipil terdiri dari AJAR, KontraS, Lokataru, Migrant Care, LBH Masyarakat, P2D, PKBI, YLBHI, YLKI, WALHI. Mereka menyampaikan gugatannya lewat keterangan pers, Jumat (13/3/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami menyesalkan dan mengugat cara pemerintah menghadapi pandemi COVID-19 ini. Kami menilai apa yang dilakukan pemerintah sama sekali jauh dari pemenuhan hak-hak konstitusional rakyat yang memerintahkan negara untuk 'melindungi segenap tumpah darah Indonesia'," kata koalisi masyarakat sipil.
Tuntutan ini berangkat dari kekhawatiran koalisi masyarakat sipil terhadap cara pemerintah menangani COVID-19 sejak awal. Kini, sudah ada 35 orang positif COVID-19 di Indonesia, 2 orang di antaranya meninggal dunia.
"Alih-alih mengantisipasi secara serius ancaman virus ini, pemerintah melalui pernyataan para pejabat dan elitenya cenderung meremehkan dan menyiratkan seakan-akan orang Indonesia kebal terhadap serangan virus ini," kata koalisi masyarakat sipil.
Prediksi dari Universitas Harvard yang menyebut COVID-19 sudah sampai di Indonesia sempat ditolak kebenarannya. Koalisi masyarakat sipil menilai itu adalah sikap antisains yang diperihatkan pemerintah. Belakangan, virus itu benar-benar berjangkit di dalam negeri. Pemerintah dinilai gagap dalam berkoordinasi ke pemerintah daerah.
"Kegagapan ini nampak dari kesalahan-kesalahan yang dilakukan baik oleh pejabat pemerintah pusat, maupun daerah. Koordinasi yang lemah antara pemerintah pusat dan daerah, miskomunikasi antara Kementerian Kesehatan dengan instansi lainnya nampak dalam bagaimana kasus pertama diumumkan, termasuk pelanggaran hak privasi pasien," kata koalisi.
Koalisi masyarakat sipil juga mengkritik kebijakan pemberian insentif pemerintah ke industri pariwisata termasuk membayar buzzer, di tengah merebaknya Corona. Sementara di waktu yang sama, negara lain sedang mengetatkan pintu masuk ke wilayahnya. Mereka juga mengkritik pemerintah yang dinilai telah membatasi informasi terkati penyebaran COVID-19.
Berangkat dari kekhawatiran-kekhawatiran di atas, mereka menuntut pemerintah agar tidak ragu-ragu melakukan isolasi sebagian kawasan terdampak Corona, memperluas uji laboratorium untuk tes Corona sampai ke daerah-daerah, dan melarang acara keramaian publik bila diperlukan.
Berikut rincian tuntutan koalisi masyarakat sipil:
Pertama, pemerintah harus mengubah dan memperbaiki mekanisme respon atas pandemik ini dengan cara:
1. Menyediakan informasi publik yang benar, lengkap, dan berkala menyangkut penyebaran dan risiko penularan.
2. Respons darurat yang cepat, kompeten dan dapat dijangkau masyarakat yang merasa sakit.
3. Menjamin mutu manajemen penelusuran kasus yang teliti dan transparan. Identifikasi klaster-klaster yang positif, lacak orang-orang yang berpotensi tertular atau jadi carrier. Bila perlu lakukan upaya 'partial isolation'.
4. Pemantauan yang cermat.
5. Kebijakan kesehatan publik yang rasional, dapat dijangkau dan tepat.
6. Uji laboratorium yang luas, tidak boleh dimonopoli Kemenkes, dengan juga memperbanyak testing. Mendukung upaya pemerintah daerah melakukan uji laboratorium untuk pengujian pasien.
7. Manajemen kasus yang baik untuk menghindari stigma terhadap pasien.
8. Upaya pencegahan dan pengendalian infeksi yang cermat, terpercaya. Manajemen keramaian publik termasuk melarang acara publik.
Respon pemerintah yang cepat, akurat dan bertanggung jawab justru akan berdampak positif karena akan memulihkan kepercayaan publik dan meningkatkan kesiapan warga.
Kedua, membenahi manajemen komunikasi publik dengaan membatasi dan bila perlu melarang semua bentuk komunikasi publik dari para pejabat yang tidak memiliki relevansi dan/atau kepakaran di bidang medis, atau kesehatan publik. Termasuk media, sebaiknya juga tidak perlu mencari narasumber/pendapat dari pejabat atau orang-orang yang tidak memiliki keahilian di bidang kesehatan.
Ketiga, pemerintah harus tetap menjaga hak privasi warga. Pengungkapan kasus, informasi tentang penularan bisa dilakukan tanpa harus membuka identitas pasien.
Keempat, mengingat potensi stigma dan diskriminasi yang tinggi terhadap orang yang bisa saja memiliki COVID-19, pemerintah harus memastikan upaya untuk meminimalisir stigma dan diskriminasi.
Kelima, pemerintah harus turun tangan secara nyata untuk mengatasi kelangkaan masker dan sabun antiseptik supaya tersedia di masyarakat dengan harga yang terjangkau.