Mahkamah Agung (MA) membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Meski putusan judicial review sudah final and binding, tapi proses sidang dipertanyakan.
Sebab, sidang judicial review yang digelar di MA tidak terbuka layaknya di Mahkamah Konstitusi (MK). Pemerintah, dalam hal ini Menteri Keuangan Sri Mulyani disebut tidak diberikan kesempatan memberikan keterangan kepada majelis hakim dalam sidang terbuka, mengapa iuran BPJS Kesehatan harus dinaikkan. Padahal, syarat pengadilan adalah transparasi proses sidang.
"Akses publik ke pengadilan menjamin integritas proses peradilan dengan menunjukkan 'bahwa keadilan dikelola dengan cara yang tidak sewenang-wenang, sesuai dengan aturan hukum'," kata mantan Direktur YLBHI, Alvon Kurnia Palma saat berbincang dengan detikcom, Rabu (11/3/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Alvon mengatakan sidang terbuka merupakan syarat legalitas sebuah pengadilan. Hal itu, kata dia, sesuai prinsip peradilan yang fair, independen, imparsial dan transparan.
"Dibutuhkan keterbukaan peradilan untuk menjaga independensi dan imparsialitas pengadilan. Ini merupakan bagian integral dari kepercayaan publik terhadap sistem peradilan dan pemahaman publik tentang administrasi peradilan," ujar Alvon.
Alvon mengatakan sidang terbuka juga bisa memberikan kesempatan argumentatif bagi para pihak mempertahankan pendapatnya. Baik dari pemohon (rakyat), termohon (pemerintah) atau pihak terkait. Dia menuturkan, dalam rangka mencari kebenaran materil, maka sidang terbuka menjadi syarat mutlak.
"Selain itu, keterbukaan adalah komponen utama dari legitimasi proses peradilan dan mengapa para pihak dan masyarakat pada umumnya mematuhi keputusan pengadilan," cetus Alvon.
Soal permintaan sidang terbuka ini sudah sering disuarakan. Namun Ketua MA Hatta Ali menolaknya.
"Perkara di MA itu semakin meningkat. Diperkirakan 19 ribu tahun ini. Bagaimana bisa sidang terbuka? Kalau itu dilakukan terbuka saya nggak tahu deh mau bagaimana," kata Hatta Ali pada 23 Agustus 2017.
Dari 19 ribu perkara di MA, ternyata hanya 100-an perkara yang terkait judicial review. Hal itu jauh di bawah MK, yang mengadili judicial review hampir 200 perkara per tahun.
"Nggaklah, itu hal yang mustahil, melihat jumlah perkaranya," Hatta Ali menegaskan.
(asp/mae)