PDIP menyebut permintaan maaf Raja Belanda, Willem Alexander atas kekerasan saat agresi Militer I dan II usai proklamasi kemerdekaan Indonesia sebagai bentuk pengakuan atas kedaulatan negara. PDIP menilai permintaan maaf tersebut harus dimaknai dalam konteks kesejarahan.
"Yang jelas, permintaan maaf tersebut menunjukkan penghargaan Belanda kepada kedaulatan kita, juga apresiasi terhadap posisi dan peran Indonesia yang meningkat dalam fora Internasional," ujar politikus PDIP Hendrawan Supratikno kepada wartawan, Rabu (11/3/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hendrawan mengatakan permintaan maaf tersebut harus dimaknai secara historis. Menurutnya, sebelum tahun 2005, Belanda senantiasa menyebut Indonesia merdeka pada 27 Desember 1949.
"Permintaan maaf tersebut harus dimaknai dalam konteks dan perspektif kesejarahan. Sebelum 2005, Belanda selalu menyebut Indonesia baru merdeka 27 Desember 1949, bukan 17 Agustus 1945," katanya.
Politikus PDIP itu menyebut Agresi Militer I dan II Belanda merupakan suatu tindakan heroik untuk menjaga stabilitas politik Belanda saat itu. Namun, menurut Hendrawan permintaan maaf tersebut menunjukkan Belanda sadar bahwa aksi militer mereka di masa lampau adalah tindakan brutal terhadap negara yang baru merdeka.
"Jadi bagi mereka, kekerasan dan aksi militer 1947 dan 1948, dianggap tindakan heroik untuk memelihara stabilitas politik dan sosial. Dengan permintaan maaf tersebut, selain meneguhkan pengakuan terhadap kemerdekaan Indonesia, Belanda sadar bahwa aksi-aksi saat itu masuk kategori kebrutalan terhadap negara yang baru merdeka," sebut dia.
Raja Belanda Minta Maaf ke Indonesia atas Kekerasan Masa Lalu!:
Lebih lanjut, Hendrawan mengatakan Belanda tak pernah meminta maaf atas penjajahan yang mereka lakukan selam 350 tahun. Ada tiga hal yang melandasi Belanda enggan meminta maaf.
"Untuk yang masa penjajahan, sekitar tiga abad, memang tak pernah secara langsung meminta maaf. Konon alasannya ada tiga. Pertama, Indonesia belum lahir sebagai suatu negara bangsa," jelas Hendrawan.
Poin kedua menurut Hendrawan karena pada kenyataannya Indonesia dijajah oleh organisasi dagang Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang diboncengi oleh Belanda. Namun Hendrawan menyerahkan analisa tersebut kepada ahli sejarah.
"Kedua, yang secara riil menjajah adalah organisasi dagang (VOC) yang didukung kekuatan negara. Ketiga, penjajahan tersebut menghasilkan efek neto keuntungan bagi negara yang dijajah. Aneh memang. Para sejarawan tentu punya telaah yang lebih tepat," pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, Raja Belanda Willem Alexander menyampaikan permintaan maaf dan penyesalan Pemerintah Belanda kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Raja Willem bukan minta maaf atas kekerasan di masa penjajahan, namun untuk kekerasan yang terjadi setelah proklamasi.
Diketahui, Belanda sempat menjajah Indonesia selama lebih dari 3,5 abad. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, masih terjadi peperangan dengan pihak Belanda dalam momen yang umum disebut sebagai Agresi Militer I dan II.
"Di tahun-tahun setelah diumumkannya Proklamasi, terjadi sebuah perpisahan yang menyakitkan dan mengakibatkan banyak korban jiwa. Selaras dengan pernyataan pemerintahan saya sebelumnya, saya ingin menyampaikan penyesalan saya dan permohonan maaf untuk kekerasan yang berlebihan dari pihak Belanda di tahun-tahun tersebut," ujar Raja Willem di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Selasa (10/3).
Pidato Willem disampaikan dalam bahasa Inggris. Protokol Setpres lalu membagikan terjemahan pidato tersebut.
"Saya melakukan ini dengan kesadaran penuh bahwa rasa sakit dan kesedihan bagi keluarga-keluarga yang terdampak masih dirasakan sampai saat ini," tutur Raja Willem.