Keturunan Pangeran Diponegoro ragu bahwa keris yang dikembalikan Belanda adalah keris Kiai Naga Siluman milik nenek moyangnya. Kurator Museum Keris Nusantara juga ragu terhadap keris itu. Menjawab keraguan tersebut, sejarawan yang merupakan salah seorang verifikator penelitian tentang Keris Kiai Naga Siluman memaparkan keaslian keris itu.
"Saya sebagai verifikator ditugaskan memverifikasi apakah penelitian sejak 1984 hingga kemarin sudah akurat atau belum. Dengan mantap, saya bisa mengatakan bahwa mereka sudah cukup menghadirkan bukti arsip yang sangat kuat," kata anggota Tim Verifikasi Keris Pangeran Diponegoro, Sri Margana, kepada detikcom, Selasa (10/3/2020).
Penelitian sudah lama dilakukan. Selain Margana, ada empat peneliti dan satu tim verifikator dari Wina Austria yang turut serta mencermati benda pusaka ini. Ada pula dua empu (pembuat keris) asal Indonesia yang didatangkan ke Belanda untuk memeriksa keris itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tiga keris diajukan para peneliti. Pada proses final, disimpulkan bahwa keris yang dibawa ke Indonesia itulah yang merupakan keris Pangeran Diponegoro berjuluk Kiai Naga Siluman. Arsip bersejarah membuktikannya.
"Arsip tulisan Sentot Alibasyah Prawirodirdjo (Panglima Perang Diponegoro) ditemukan tahun 2017. Tulisan itu ditulis bulan Mei 1830, tak lama setelah Diponegoro ditangkap," kata Margana.
Dalam tulisan berbahasa Jawa dan beraksara Jawa itu, Sentot menuliskan, 'Saya menyaksikan sendiri Pangeran Diponegoro menghadiahkan Keris Naga Siluman kepada Letnan Kolonel Cleerens.' Jan-Baptist Cleerens adalah komandan lapangan yang menjalin 'gentlement agreement' dan dipercaya oleh Diponegoro, maka Diponegoro menghadiahkan keris itu ke Cleerens sebagai tanda kepercayaan, meski akhirnya Diponegoro dikhianati Belanda dan ditangkap Jenderal De Kock di Magelang.
Di tulisan Sentot itulah ada penyebutan nama keris 'Naga Siluman'. Tulisan Sentot yang berbahasa dan aksara Jawa itu kemudian diterjemahkan ke bahasa Belanda oleh Raden Saleh, pelukis kenamaan. Raden Saleh melihat langsung keris itu dan mendeskripsikan ciri fisik keris itu, tepat di samping tulisan Sentot.
"Raden Saleh memberi catatan dalam Bahasa Belanda, dituliskannya bahwa keris Naga Siluman itu punya luk berjumlah 11," kata Margana.
Keris itu datang ke Belanda sejak 1831 dan akhirnya disimpan di Museum Volkenkunde, Leiden. Nomor inventarisnya RV-360-8084. Nomor itu ada di bagian gagang dan bagian warangka (sarung keris). Di situ memang tidak disertai keterangan bahwa keris ini bernama Kiai Naga Siluman, namun hanya dituliskan bahwa pemilik sebelumnya adalah Pangeran Diponegoro.
Kemudian keris ini diidentifikasi dengan ciri-ciri fisik yang disampaikan Raden Saleh. Maka benarlah, keris bernomor RV-360-8084 inilah yang merupakan Keris Kiai Naga Siluman.
"Jadi dhapur (rancang bangun)-nya dhapur Nagasasra, tapi karakteristik yang membuat saya yakin itu Naga Siluman yakni pada bagian ganja (bagian pangkal dari bilah keris) ada gambar Naga Siluman," kata Margana.
![]() |
Sebelumnya, sempat ada analisis yang disampaikan keturunan ketujuh Pangeran Diponegoro, Roni Sodewo. Dia meragukan bahwa keris yang sudah dihadirkan di Istana Bogor itu adalah keris Kiai Naga Siluman. Dia melihatnya dari segi dhapur atau rancang bangun.
"Kalau melihat fisiknya (keris yang dikembalikan Pemerintah Belanda ke Indonesia) itu dhapur keris nagasasra, itu kalau bicara dhapur ya," papar keturunan ketujuh Pangeran Diponegoro, Roni Sodewo, kepada detikcom, sebelumnya.
Namun Roni tidak memastikan bahwa keris yang dikembalikan tersebut bukan keris Diponegoro. Sebab, bisa jadi nama keris naga siluman sebagai milik Diponegoro selama ini tidak merujuk pada dhapur, melainkan sebutan. Dalam tradisi Jawa, memang ada kebiasaan menamai benda-benda khusus dengan nama dan bahkan gelar sesuai dengan kemauan pemiliknya.
Ada pula Kurator Museum Keris Nusantara di Solo, Ki Ronggajati Sugiyatno, yang ragu akan kebenaran bahwa keris itu adalah Kiai Naga Siluman. Ki Ronggajati memaparkan sejumlah alasan yang membuatnya ragu. Dia menegaskan keris yang dikembalikan ke Indonesia tersebut adalah keris dhapur Nagasasra Kamarogan.
Dia meyakini Pangeran Diponegoro tidak mungkin tak memahami rancang bangun atau dhapur keris. Sebagai seorang pangeran yang pernah menjadi penasihat utama raja (Hamengku Buwono V), Diponegoro diyakini sangat paham perihal keris.