Hakim agung tidak dibatasi periode, sedangkan presiden maksimal dua kali menjabat. Hal ini dipersoalkan hingga digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mahkamah Agung (MA) menjelaskan hakim agung dan presiden memiliki karakteristik berbeda.
"Prasyarat yang ditentukan konstitusi ini sangat mendasar hakikatnya bagi jabatan hakim agung karena dipandang sebagai suatu profesi yang membutuhkan intelektualitas, track record, integritas, dan yang terpenting pengalaman profesi hukum yang memadai," kata Ketua Muda MA Perdata IG Sumanatha dalam sidang di gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis (5/2/2020).
Penegasan syarat pengalaman dalam konstitusi ini kemudian diatur lebih lanjut dalam Pasal 7 UA Mahkamah Agung, yaitu 20 tahun bagi hakim karir dan 20 tahun bagi non-karir berpengalaman dalam profesi atau akademisi hukum.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jika dibandingkan prasyarat pengalaman yang ditentukan konstitusi tersebut berbeda dengan jabatan eksekutif dan legislatif semisal presiden dan wakil presiden yang tidak mensyaratkan pengalaman yang demikian (vide Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945)," ujar Sumanatha.
Menurut MA, bila hakim agung diberi periode dan dikocok ulang per lima tahun, malah patut dipertanyakan. Patut dikhawatirkan telah dibukanya peluang dan ruang intervensi ekstrayudisial--baik secara langsung maupun tidak langsung--melalui mekanisme evaluasi periodik. Dalam hal ini bertentangan dengan Tap MPR Nomor 10 Tahun 1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara.
"Selain itu, adanya ketentuan evaluasi periodik terhadap Hakim Agung, ekstrayudisial nantinya bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-XIV/2016 yang mana telah menyatakan inkonstitusional periodisasi pada jabatan hakim pengadilan pajak karena dikhawatirkan mengganggu independensi hakim," cetus Sumanatha.
Tonton video Komisi III DPR Gelar Fit and Proper Test Calon Hakim Agung MA:
(asp/mae)