Jaksa KPK menelusuri mengenai anggaran yang digunakan Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) untuk mengadakan tari Poco-poco yang memecahkan rekor dunia. Jaksa menyoroti penggunaan APBN dalam kegiatan tersebut.
Sekretaris Menteri Pemuda dan Olahraga (Sesmenpora) Gatot S Dewa Broto mengatakan Imam Nahrawi yang saat itu aktif sebagai Menpora mengajukan surat ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) bila kegiatan itu tidak akan menggunakan APBN.
"Poco-poconya Agustus 2018 dan di tahun 2016 ada permohonan dari Pak Menteri kepada presiden akan ada Poco-poco. Poco-poco-nya sih bagus ya. Kemudian di situ disebutkan dalam surat tidak akan menggunakan APBN," kata Gatot saat bersaksi dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Raya, Jakarta Pusat, Rabu (4/3/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, menurut Gatot, Deputi III Bidang Pembudayaan Olahraga Kemenpora saat itu sempat mengeluarkan anggaran tambahan untuk kegiatan itu. Sementara anggaran mayoritas, disebut Gatot, berasal dari sponsor.
"Tahun 2018 difasilitasi di Deputi III sebesar hampir Rp 4 miliar, di luar itu menggunakan anggaran dari pihak sponsor Rp 17-20 miliar," ujar Gatot.
"Kan sudah memenuhi itu, kenapa masih ambil dari APBN?" tanya jaksa.
"Saya kurang tahu, karena saya tidak terlibat langsung," jawab Gatot.
Seperti diketahui, senam poco-poco dalam rangka pemecahan rekor dunia digelar di kawasan Monumen Nasional, Jakarta Pusat, Minggu (5/8/2018). Acara ini dihadiri langsung oleh Presiden Jokowi dan istrinya, Iriana, serta Wapres Jusuf Kalla dan Mufidah Kalla.
Menanggapi keterangan itu, mantan Menpora Imam Nahrawi mengatakan tarian poco-poco merupakan inisiatif Presiden Jokowi. Seharusnya Gatot mendukung acara tarian tersebut.
"Soal Poco-poco saya juga enggak tahu di sini, Poco-poco ini adalah inisiatif dari pak Presiden dan tentu bapak sebagai birokrat mengamankan perintah presiden agar tidak melanggar UU dan disini menyampaikan bahwa ada motif-motif tertentu atas bantuan dari sponsor," ucap Imam.
Imam mengatakan seharusnya bersyukur bila ada sponsor yang membantu acara itu. Jika ada kekurangan dana juga akan dibantu oleh pemerintah.
"Mestinya kita bersyukur bilamana ada sponsor yang membantu. Kalau toh kurang, maka mungkin pemerintah akan bantu disitu, dan bilamana tidak ada benturan kepentingan mestinya kita juga membantu, seperti halnya kita membantu yang lain," kata Imam.
"Tapi di sini bapak menyampaikan bahwa seakan-akan ada konflik kepentingan Poco-poco. Ini pemecahan rekor dunia Poco-poco, bahwa di situ katakanlah karena kepanitiaannya tidak berkenan di hati istri bapak, Ibu Lina, tentu saya tidak tahu tentang hal itu," lanjut Imam.
Dalam sidang ini, Imam Nahrawi duduk sebagai terdakwa. Dia didakwa menerima uang Rp 11,5 miliar. Penerimaan uang tersebut untuk mempercepat persetujuan dana hibah KONI ke Kemenpora.
Perbuatan Imam dilakukan bersama-sama dengan mantan Asisten Pribadi Menpora Miftahul Ulum. Imam dan Ulum menerima uang dari eks Sekretaris Jendral KONI Ending Fuad Hamidy dan eks Bendahara Umum KONI Jhonny E Awuy.
Selain itu, Imam Nahrawi didakwa menerima gratifikasi Rp 8,6 miliar. Uang gratifikasi itu berasal dari Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy hingga anggaran Satlak Prima.
(fai/dhn)