Identitas baik nama, foto maupun alamat lengkap dua pasien yang disebut positif terinfeksi virus corona COVID-19 beredar luas melalui aplikasi pesan, media sosial, dan sejumlah media.
Tak hanya itu, pejabat pemerintah pun ikut menyebarluaskan informasi tersebut. Wali Kota Depok, Muhammad Idris dalam konferensi pers yang digelar di Balai Kota Depok awalnya menjelaskan kronologi terpaparnya dua pasien yang kini dirawat intensif di Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso.
Dalam kesempatan tersebut, Idris juga menyebut dengan terang-terangan alamat rumah pasien. "Alamatnya (pasien) ada di Studio Alam, Perumahan Studio Alam. Bloknya lupa, nanti kita bisa lihat," ujar Idris, Senin (2/3/2020) siang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penyebutan alamat tersebut disayangkan berbagai pihak. Pasalnya, alamat sang pasien tersebut merupakan bagian dari identitas pribadi yang seharusnya ditutup rapat-rapat.
Pengurus Pusat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) bidang Politik dan Kesehatan, Syahrizal Syarif menyampaikan dari sisi tenaga kesehatan baik itu dokter maupun perawat, tidak diperkenankan dengan alasan apapun membuka identitas pribadi pasien.
"Kalau dokter yang menyebut identitas pasien, pasti akan melanggar etik kedokteran dan ada sanksinya. Kecuali untuk alasan khusus seperti diminta oleh pengadilan," ujar Syahrizal, Selasa (3/3/2020) pada wartawan.
Dalam kasus dua pasien di Depok, Syahrizal menyampaikan hal itu juga bukan merupakan hal yang pantas dilakukan oleh seorang pejabat publik. "Dia (Idris) harusnya memberi informasi terbatas saja. Kalau dinyatakan sebatas sampai Depok saja, tidak perlu sampai detail. Itu tidak pantas," katanya.
Identitas pasien, menurut Syahrizal yang juga pengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia hanya untuk kepentingan penyelidikan internal saja. "Membuka identitas sama sekali tidak membantu proses pengendalian wabah dan justru mengganggu karena media berbondong-bondong ke sana," ujarnya.
Dan yang paling mengkhawatirkan, membuka data itu merupakan pelanggaran terhadap hak pribadi. Bagi pasien akan ada kerugian besar terutama soal stigmatisasi. Walaupun nanti pasien sudah dinyatakan sembuh total dari penyakitnya. "Ini sangat merugikan, terutama soal stigmatisasi," kata Syahrizal.
Karena itu, doktor lulusan University of Newcastle, Australia tersebut meminta semua pasien termasuk yang masih dalam pemantauan dan pengawasan turut dirahasiakan identitasnya. "Yang di karantina di rumah juga harus ditutup identitasnya," ujar Syahrizal.
Contoh terbaik soal penanganan pasien yang terpapar virus corona menurut Syahrizal disajikan Singapura. Negara jiran ini hanya menampilkan nomor kasus untuk menggantikan nama.
"Yang juga dibuka hanya jenis kelamin, usia pasien, atau riwayat perjalanan yang terkait dengan penelusuran dimana pasien terjangkit virus," kata pakar epidemiologi tersebut.
Sementara itu, Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Wahyudi Djafar yang melakukan penelitian soal perlindungan data pribadi menyatakan identitas pribadi seperti alamat merupakan bagian dari rekam medis yang harus dilindungi.
Perlindungan kerahasiaan terhadap rekam medis ini sudah masuk dalam berbagai aturan seperti Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Menurut Wahyudi, Kementerian Kesehatan juga sudah membuat aturan turunan khusus bagi rekam medis tersebut.
Diantaranya, Permenkes Nomor 269/Menkes/Per/III/2008 tentang Rekam Medis, Permenkes No. 36 Tahun 2012 tentang Rahasia Kedokteran, Permenkes No. 55 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pekerjaan Rekam Medis.
"Data pribadi semua data yang bisa mengidentifikasi seseorang. Perlindungannya dalam penyelenggaraan layanan kesehatan, pada level aturannya dapat dikatakan sudah sangat komprehensif," ujar Wahyudi.
Hanya saja, menurut Wahyudi konsep data pribadi itu belum dapat diterima dengan baik oleh publik. Pasalnya tafsiran atas definisi dan kualifikasi data pribadi masih beragam.
"Kita belum memiliki UU Perlindungan Data Pribadi yang komprehensif sehingga tafsiran atas data pribadi beragam," ujar Wahyudi. Karena itu, menurut Wahyudi UU Perlindungan Data Pribadi sangat diperlukan.
Komisioner Komisi Informasi Pusat Arif A. Kuswardono menyampaikan sesuai UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, pasal 17 huruf h dan i, informasi pribadi dikecualikan bila terkait dengan riwayat, kondisi anggota keluarga, perawatan kesehatan fisik dan psikis seseorang.
"Pengungkapan identitas penderita Corona secara terbuka adalah pelanggaran hak-hak pribadi. Informasi pribadi hanya bisa diungkap atas ijin yang bersangkutan atau jika terkait pengisian jabatan publik. Alasan terakhir tidak relevan untuk dipertimbangkan dalam kasus ini," ujarnya.
Arif mengimbau agar publik dan pejabat publik menghormati hak tersebut. "Dengan tidak membagi, menyebarkan informasi pribadi pasien yang bersangkutan di media sosial atau tempat lain," ujarnya. Selain itu, perlindungan atas identitas pribadi ini dijamin dalam konstitusi.