Dalam suratnya, Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati menjelaskan bahwa alasan penolakan terhadap omnibus law RUU Cipta Kerja ada dua. Pertama, dari sisi prosedur, penyusunan RUU ini tidak melibatkan partisipasi publik, khususnya partisipasi masyarakat pesisir.
"Pada titik ini, RUU Omnibus Law memiliki kecacatan hukum yang sangat serius karena tidak melibatkan masyarakat pesisir yang berpotensi akan terdampak RUU ini jika telah disahkan. Pada saat yang sama, banyak pelaku bisnis skala besar dan investor dilibatkan bahwa masuk ke dalam tim utama Satgas sosialisasi RUU Omnibus Law Cipta Kerja" kata Susan dalam siaran pers yang diterima detikcom, Selasa (3/3/2020).
Kedua, dari sisi substansi, RUU ini akan merevisi banyak sekali UU sektoral yang dianggap akan menghambat investasi atau kemudahan berusaha. Di dalam konteks kelautan dan perikanan, RUU ini akan membuka kesempatan yang sangat besar kepada kapal-kapal asing untuk melakukan penangkapan ikan di perairan Indonesia. Pada saat yang sama, nelayan-nelayan skala kecil dan nelayan tradisional disamakan dengan nelayan skala besar.
"Dengan demikian, definisi di antara kedua pelaku perikanan ini akan kabur. Pada masa yang akan datang, nelayan-nelayan skala kecil harus berkompetisi dengan kapal-kapal besar di lautan Indonesia. Kondisi ini jelas akan merugikan kehidupan nelayan skala kecil karena sumber daya perikanan akan terus dieksploitasi oleh kapal skala besar," ungkap Susan.
Di pengujung suratnya, KIARA menyatakan bahwa omnibus law RUU Cipta Kerja sesungguhnya bertentangan dengan Konstitusi, UUD 1945 Pasal 33 ayat (3), yang menyebutkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
"RUU ini jelas-jelas bertentangan dengan konstitusi Republik Indonesia, UUD 1945, khususnya Pasal 33 ayat 3," tambahnya. (asp/mae)