MK Kaget Pemerintah Kirim Eselon IV di Sidang Judicial Review

MK Kaget Pemerintah Kirim Eselon IV di Sidang Judicial Review

Andi Saputra - detikNews
Senin, 02 Mar 2020 16:27 WIB
Anwar Usman
Anwar Usman (ari/detikcom)
Jakarta -

Judicial review sejatinya menguji sebuah kualitas UU apakah sesuai dengan konstitusi atau tidak atas permohonan warga negara. Sehingga, DPR-Pemerintah sebagai pembuat UU seharusnya mengirimkan pejabat yang kompeten untuk menjelaskan kepada masyarakat, khususnya MK.

Untuk Pemerintah, MK memberikan maklum bila Presiden mendelegasikan ke Menteri. Pun bila Menteri tidak bisa hadir, diharapkan pejabat Eselon I. Nah, dalam sidang Perkara NOmor 83/PUU-XVII/2019, yang hadir adalah Eselon IV dari Kejaksaan Agung.

Sidang itu terkait judicial review UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Perwakilan DPR tidak hadir dalam sidang itu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Dari Kuasa Presiden, ya, mohon maaf, masing-masing di kantornya, ya, baik di Kemenkumham maupun di Kejaksaan Agung, kedudukannya sebagai apa? Pejabat struktural, atau fungsional, atau apa?" tanya Ketua MK Anwar Usman dalam sidang di MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Senin (2/3/2020).

"Eselon III, Yang Mulia," kata Rudy Hendra yang mewakili Kemenkumam.

ADVERTISEMENT

"Dari kejaksaan?" tanya Anwar Usman.

"Eselon IV, Pak," jawab Pri Nuko Arrom dari Kejaksaan Agung.

"Heem. Jaksa, ya? Ya, sebenarnya sudah ada ini --apa ya-- standarnya itu dan itu kan diundang untuk hadir itu Presiden menguasakan kepada kabinetnya, menteri, ya. Dengan hak substitusi, tetapi paling tidak itu sebenarnya Eselon II," kata Anwar Usman menasihati.

Meski yang datang cuma Eselon IV, akhirnya MK membolehkan dan melanjutkan sidang dengan mendengarkan keterangan pihak terkait Migrant Care dan Serikat Buruh Migran Indonesia.

"Tapi untuk sekarang, ya, enggak apa-apa," tutur Anwar.

Tonton juga video Pemerintah Jelaskan soal Penyadapan di Sidang Uji Formil UU KPK:

Sebagaimana diketahui, penyalur tenaga kerja Indonesia (TKI) menggugat UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Menurut penggugat, UU itu memberatkan usaha karena minimal memiliki modal Rp 5 miliar.

Gugatan itu dilayangkan Ketua Umum Organisasi Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (Aspataki) Saiful Mashud.

"Menyatakan Norma Pasal 54 ayat (1) huruf (a) dan huruf (b) dan Pasal 82 huruf (a) serta Pasal 85 huruf (a) UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia bertentangan dengan Pasal 27 dan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 33 UUD 1945," demikian bunyi tuntutan Saiful.

Pasal 54 (1) berbunyi:

Untuk dapat memperoleh SIP3MI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1), Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia harus memenuhi persyaratan:
a. memiliki modal disetor yang tercantum dalamakta pendirian perusahaan paling sedikit Rp 5 miliar.
b. menyetor uang kepada bank pemerintah dalam bentuk deposito paling sedikit Rp 1,5 miliar yang sewaktu-waktu dapat dicairkan sebagai jaminan untuk memenuhi kewajiban dalam Pelindungan Pekerja Migran Indonesia;
c. memiliki rencana kerja penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia paling singkat 3 (tahun berjalan; dan memiliki sarana dan prasarana pelayanan penempatan Pekerja Migran Indonesia.

Pasal 54 (2):
Deposito sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, hanya dapat dicairkan oleh Menteri apabila Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia tidak memenuhi kewajiban terhadap Calon Pekerja Migran Indonesia dan/atau Pekerja Migran Indonesia.

Pasal 82 yang berbunyi:
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 15 miliar setiap orang yang dengan sengaja menempatkan Calon Pekerja Migran Indonesia pada:

a. jabatan dan jenis pekerjaan yang tidak sesuai dengan perjanjian kerja sehingga merugikan Calon Pekerja Migran Indonesia tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf a; atau
b. pekerjaan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf b.

Pasal 85 berbunyi ;
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 5 milliar, setiap orang yang :

a. menempatkan Pekerja Migran Indonesia pada pekerjaan yang tidak sesuai dengan Perjanjian Kerja yang telah disepakati dan ditandatangani Pekerja Migran Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf a;
b. menempatkan Pekerja Migran Indonesia pada jabatan yang tidak sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf b;
c. mengalihkan atau memindah tangankan SIP3MI kepada pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf c; atau
d. mengalihkan atau memindah tangankan SIP2MI kepada pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf d.

"Pemohon sangat dirugikan dalam kondisi yang demikian padahal semula Pemohon dapat berusaha dengan baik sebagaimana diatur dalam ketentuan UU 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Pelindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri," ujar Saiful.

Halaman 2 dari 2
(asp/tor)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads