Media Jerman Deutsche Welle (DW) memberitakan bahwa pemerintah China banyak menangkap muslim Uighur tanpa alasan. Kedutaan Besar China untuk Indonesia membantah.
Kepala Media dan Diplomasi Publik kedutaan besar China di Jakarta, Huang Hui mengatakan, semua fakta dan informasi soal Xinjiang sudah sering dikemukakan. Dia juga mengatakan, sudah banyak orang Indonesia yang datang ke Xinjiang yang bisa berbagi pengalaman.
"Semua fakta dan informasi yang dibagikan oleh kami sudah ada dalam website. Kami membagikan itu secara publik. Banyak orang Indonesia yang diundang ke China dan tahu fakta sebenarnya. Mereka juga sudah berbagi pengalamannya," ujar Huang Hui saat dikonfirmasi, Rabu (19/2/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Huang kemudian mengarahkan ke situs resmi Kedutaan Besar China untuk Indonesia.
Dalam situs resminya, Kedutaan Besar China untuk Indonesia mengatakan, media barat terus berupaya mencemarkan program anti-teror dan deradikalisasi yang dilakukan di Xinjiang. Sejumlah media Barat itu juga disebut berupaya mengadu-domba hubungan persahabatan antara Tiongkok dan dunia Muslim.
"Tindakan ini justru memamerkan standar ganda mereka dalam isu anti-teror, sekaligus niat buruk mereka untuk merusak kemakmuran dan stabilitas di Xinjiang serta menghambat kemajuan Tiongkok," tulisnya.
China, katanya, sejak akhir 2018 telah mengundang lebih dari 1.000 pejabat pemerintahan, organisasi internasional, awak media, ormas agama, dan akademisi dari 70 lebih negara, termasuk Indonesia, untuk mengunjungi Xinjiang.
"Para undangan itu banyak memuji bahwa pengalaman anti-teror dan deradikalisasi di Xinjiang patut dipelajari dan diteladani. Pada Maret 2019, Dewan Menteri Luar Negeri Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) mengeluarkan sebuah resolusi yang memuji upaya pemerintah Tiongkok dalam mengayomi warga Muslim," klaim China.
"Dalam pertemuan Komite III Sidang Majelis Umum PBB ke-74 Oktober lalu, lebih dari 60 negara memberikan pernyataan yang mengapresiasi kemajuan HAM yang luar biasa besar di Xinjiang, Tiongkok," tambahnya.
China juga menyebut, Xinjiang telah mengalami banyak penderitaan akibat aksi kekerasan, radikalisme, bahkan terorisme. Dari tahun 1990 hingga 2016, telah terjadi ribuan kasus kekerasan dan terorisme di Xinjiang. Kasus-kasus ini melibatkan serangan bahkan pembunuhan terhadap banyak warga tidak berdosa, termasuk warga Muslim Uighur dan pemuka agama.
"Menanggapi situasi memprihatinkan itu, pemerintah Daerah Otonom Xinjiang telah mengambil serangkaian tindakan hukum untuk memberantas aksi kekerasan dan aktivitas terorisme, termasuk aktif menindaklanjuti program deradikalisasi. Hasilnya cukup signifikan. Dalam tiga tahun terakhir, tidak satu pun kasus serangan terorisme yang terjadi di Xinjiang," tulisnya.
Sebelumnya diberitakan, sejak 2016, pemerintah China telah menangkap orang-orang Uighur dan menahan mereka di kamp penampungan yang secara resmi disebut "Pusat Pelatihan Pendidikan Kejuruan". Negara-negara Barat menyebutnya sebagai kamp "pre-edukasi".
Di lantai dasar sebuah masjid di Istanbul, Turki, belasan pria berdoa di atas karpet berwarna biru pucat. Mereka semua adalah warga Uighur, komunitas Muslim yang berbasis di Daerah Otonomi Xinjiang di kawasan barat laut China. Semua pria yang tengah berdoa itu memiliki saudara di Xinjiang yang kemudian dibawa ke penjara dan kamp-kamp penampungan.
Kepada DW, para pria Uighur itu menunjukkan foto-foto kartu identitas keluarga mereka, foto-foto dari istri, anak-anak, dan orang tua mereka yang hilang tanpa jejak.
"Aku bahkan tidak tahu apakah putriku masih hidup atau tidak," ujar salah seorang pria sambil memperlihatkan foto seorang wanita muda.
"Pemerintah China ingin mengambil kendali penuh," kata imam masjid tersebut kepada DW sembari menggerakkan tangannya dengan emosi. "Mereka ingin membunuh orang Uighur dan budaya kita."
Sulit untuk mengatakan dengan tepat berapa banyak warga Uighur yang telah ditahan di China. Menurut perkiraan, sedikitnya 1 juta dari sekitar 10 juta warga Uighur yang tinggal di Xinjiang telah menghilang ke dalam jaringan penjara dan kamp tahanan yang dibangun oleh pemerintah China.
Laporan dari wilayah tersebut menunjukkan bahwa beberapa tahanan ditahan tanpa batas waktu, sementara yang lain dipindahkan ke kamp kerja paksa. Mereka yang diizinkan untuk pulang ke rumah diawasi di bawah pengawasan ketat otoritas setempat di mana mobilisasi mereka dibatasi.
Otoritas China mengklaim bahwa "pusat-pusat pelatihan kejuruan" dibangun untuk melawan "gagasan-gagasan" dan memberi warga Uighur "keterampilan yang berharga." Di kamp-kamp tersebut, tahanan menjalani proses indoktrinasi yang ketat dan harus mengikuti kursus bahasa Mandarin