Tepat pada tanggal ini, 12 tahun lalu Perdana Menteri Australia Kevin Rudd meminta maaf pada penduduk asli benua Australia, suku Aborigin atas kebijakan memisahkan anak-anak Aborigin dari keluarganya. Anak-anak ini kemudian disebut generasi-generasi yang terampas.
PM Rudd memberikan pidato permintaan maafnya itu di Gedung Parlemen Australia. Dihadiri sejumlah mantan perdana menteri, ratusan anggota parlemen, dan perwakilan dari masyarakat adat. Mengawali pidatonya, Rudd mengakui perlakuan pada generasi yang terampas merupakan sebuah noda dalam sejarah Australia.
"Saatnya telah tiba bagi bangsa ini untuk membuka halaman baru dalam sejarah Australia dengan meluruskan kesalahan masa lalu dan bergerak maju dengan percaya diri ke masa depan," ujar Rudd seperti yang dikutip The Sydney Morning Herald.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami meminta maaf atas Undang-undang dan kebijakan yang dikeluarkan parlemen dan pemerintah yang menyebabkan kesedihan, penderitaan, dan kerugian mendalam pada sesama warga Australia."
Politisi dari Partai Buruh ini juga mengucapkan permohonan maaf karena telah terjadi pemisahan anak-anak Aborigin dan Pulau Selat Torres dari keluarga, komunitas, dan wilayah mereka. "Atas rasa sakit, penderitaan, dan luka dari generasi yang terampas ini kami memohon maaf," kata Rudd.
Istilah generasi yang terampas merujuk pada anak-anak Aborigin Australia dan penghuni Pulau Selat Torres, biasanya keturunan campuran, yang direnggut dari keluarga mereka oleh Pemerintah Australia tahun 1869 hingga tahun 1969.
Di bawah undang-undang yang disahkan parlemen, anak-anak ini dibawa ke panti asuhan atau lembaga-lembaga sejenis. Mereka kemudian dibesarkan di tempat itu dengan perlakuan tak manusiawi.
Komisi Hak Asasi dan Kesetaraan Peluang Australia dalam laporannya berjudul Bring Them Home mengutip kisah seorang anak laki-laki bernama John yang diambil dari rumahnya dalam usia belum genap 10 tahun pada 1940-an. John menghabiskan tahun pertamanya di Bomaderry Children's Home di Nowra lalu dipindahkan ke Kinchela.
"Mereka merampas tas dan semua yang kami punya lalu dibakar. Kemudian mereka mencukur rambut kami," ujar John. "Kami diberikan baju seragam dengan nomor. Mereka tidak pernah memanggil kami dengan nama. Tapi dengan nomor yang ada di baju."
Menurut laporan itu, motif awal pemisahan yakni menanamkan nilai-nilai Eropa dan kebiasaan kerja pada anak-anak. Kemudian mereka akan digunakan untuk melayani kaum pendatang dari Eropa. Namun kemudian berkembang jadi sebuah sarana menyalurkan kebencian pada penduduk asli.
Laporan tersebut juga menyebutkan, sedikitnya 100.000 anak direnggut dari keluarga mereka.