Pemerintah menjawab terkait tidak dapatnya KPK membuka kantor perwakilan di wilayah kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Menurutnya, hal ini bukan untuk pelemahan melainkan agar fokus dalam pekerjaan.
"Dihapusnya pasal 19 ayat 2 tidak dimaksud untuk melemahkan pemberantasan korupsi, namun lebih memaksimalkan fungsi-fungsi organ pemerintah yang ada kaitannya yang secara fungsi agar lebih fokus dalam satu bidang," ujar Staf Ahli Hukum dan HAM Agus Hariadi saat membacakan jawaban pemerintah dalam persidangan di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (3/2/2020).
Agus mengatakan hal ini sesuai dengan marwah UU KPK yang memiliki bersifat khusus. Selain itu, penghapusan juga disebut dengan memperhatikan kebutuhan hukum serta mendorong pemberantasan korupsi agar lebih efektif.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sebagaimana marwah sifat UU KPK, sebagai undang-undang yang memiliki sifat lex specialis. Penghapusan pasal 19 ayat 2 juga merupakan kewenangan open legal policy untuk undang-undang dengan memperhatikan kebutuhan hukum," kata Agus.
"Sebagai upaya negara untuk mendorong pemberantasan korupsi agar lebih efektif sehingga dapat berdaya guna," imbuhnya.
Tidak hanya itu, menurutnya, berdasarkan Konvensi United Nations Concvention Against Corruption (UNCAC) 2003 negara wajib meningkatkan keefektifan lembaga. Sehingga menurutnya, penghapusan ini dilakukan agar lebih efektif dengan mempertimbangkan keuangan negara.
"Berdasarkan Konvensi UNCAC 2003 pasal 5, yang menyatakan bahwa negara pihak wajib meningkatkan dan mengupayakan praktek yang efektif. Sehingga dihapusnya ketentuan pasal 19 ayat 2 undang-undang a quo, merupakan upaya untuk mengatur agar pemberantasan korupsi dapat tercapai lebih maksimal dan efektif dengan mempertimbangkan biaya dan keuangan negara," tuturnya.
Simak Video "Pemerintah Minta MK Tolak Permohonan Uji Formil UU KPK"
(dwia/dhn)