Ahli dari Presiden, Riawan Tjandra, tidak setuju kewenangan audit investigasi, atau yang biasa dikenal dengan Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu (PDTT) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), untuk dihapuskan. Sebab, audit investigasi itu diperlukan untuk menelusuri keuangan negara dan juga lazim di berbagai negara.
Hal itu menanggapi permohonan dosen Ibnu Sina Chandranegara-Auliya Khasanofa yang menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar kewenangan itu dihapus.
"PDTT merupakan instrumen yang efektif untuk membantu penegak hukum dalam mengungkapkan terjadinya tindak pidana korupsi yang menimbulkan kerugian negara yang kini menjadi persyaratan mutlak untuk melakukan penegakan hukum," kata Riawan yang dikutip dari risalah sidang dari website MK, Kamis (30/1/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam melaksanakan PDTT--sebelum mengambil kesimpulan berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan--pemeriksa harus mendasarkan pada bukti yang cukup kompeten dan relevan.
"Jadi, adanya kerugian negara ini harus dibuktikan di bidang tindak pidana korupsi pasca-lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 25/PUU-XIV/2016. Justru di sinilah sebenarnya letak keterkaitan PDTT dengan Putusan MK tersebut," cetus Riawan.
Simak Video "Selidiki Dugaan Korupsi Asabri, Polisi Tunggu Audit BPK"
Sebagai komparasi, praktik PDTT juga dilaksanakan di beberapa negara lain. Misalnya, di Amerika Serikat, yang dilakukan oleh JAO.
"JAO diberikan kewenangan untuk melaksanakan audit atas pemeriksaan congressional committees dan subcommittees atas anggota kongres. Setelah tugas JAO adalah melakukan investigasi atas tuduhan ilegal dan improper activities," papar Riawan.
Menurut Riawan, PDTT sesungguhnya didasarkan atas filosofi dalam pengelolaan keuangan negara. Landasan filosofi dari PDTT adalah mewujudkan kepastian hukum dan kepatuhan dalam penggunaan keuangan negara agar dapat mencegah ataupun memulihkan terjadinya kerugian negara.
"PDTT sebagai satu varian pemeriksaan yang lebih mendalam selalu diperlukan jika apa yang dilakukan oleh pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja ternyata dinilai masih kurang untuk mencapai tujuan pemeriksaan," ujar Riawan.
Sebagaimana diketahui, pemohon menggugat Pasal 6 ayat 3 UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK. Pasal tersebut berbunyi:
Pemeriksaan BPK mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
"Terhadap permintaan DPR dan DPRD untuk melakukan pemeriksaan lanjutan dengan menggunakan PDTT, tentunya sangat memiliki tendensi politik dan dapat dijadikan sebagai instrumen yang berpotensi disalahgunakan karena tidak adanya kejelasan terkait tentang pelaksanaan PDTT dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 maupun Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006," ujar kuasa hukum pemohon, Viktor.