Tepat tanggal ini pada 1987, sejumlah perwira militer Filipina dipimpin Kolonel Oscar Canlas mencoba melakukan kudeta atas pemerintahan Presiden Corazon C Aquino. Gerakan ini diawali dengan menguasai gedung stasiun televisi swasta Channel 7 dan stasiun radio DZBB di kota Manila.
Indikasi akan terjadi kudeta sudah diketahui intelijen Filipina seminggu sebelumnya. Menurut laporan yang dinukil dari The Final Report of the Fact-Finding Commission IV: Military Intervention in the Philippines: 1986 - 1987 terdapat empat kelompok yang berniat menggulingkan pemerintahan Presiden Aquino.
Mereka adalah para loyalis eks Presiden Ferdinand Marcos, anggota militer yang setia pada mantan Menteri Pertahanan Juan Ponce Enrile, para perwira yang tidak suka akan cara Presiden Aquino memadamkan sejumlah pemberontakan, dan sejumlah pengusaha kelas kakap.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada 27 Januari, grup loyalis Marcos yang sebagian besar anggota Guardians Brotherhood Inc (GBI) bergerak. GBI merupakan sebuah organisasi militer yang mengklaim memiliki keanggotaan sekitar 70% dari total kekuatan Angkatan Bersenjata Filipina.
Kelompok ini berusaha menguasai empat target yakni Villamor Air Base, Sangley Point Air Base, Fort Bonifacio, dan stasiun televisi. Pukul 1.30 pagi dipimpin Mayor Ruben Sagmit menggerakkan anggotanya ke gedung stasiun Channel 7. Mereka menyandera puluhan karyawan. Sejam kemudian tiba tiga truk prajurit dengan senjata berat memperkuat kelompok itu.
Kolonel Canlas sendiri baru tiba jelang matahari terbit dengan membawa 100 prajurit. Para pemberontak menandai diri mereka dengan ikat kepala biru dan syal merah. Mereka berjaga di tiap jendela dan atap gedung. Sementara pasukan yang setia pada pemerintah dengan cepat mengepung gedung tersebut.
Presiden Aquino menyatakan tidak akan memberi toleransi lagi pada militer yang mengancam pemerintahannya. Dia menyebut hukuman maksimal akan diberikan pada setiap anggota militer yang terlibat. Sumber The New York Times menyebut upaya penggulingan pemerintahan itu melibatkan 1.000 prajurit militer (serdadu) termasuk 10 orang perwira.
Canlas membeberkan alasan gerakan tersebut dengan menyebutkan adanya ancaman komunisme yang tumbuh di Filipina. Lulusan Akademi Militer tahun 1963 itu juga meminta Presiden Aquino mundur dan Marcos dipulangkan dari pengasingan. "Hanya Marcos yang bisa menyelesaikan masalah negara," ujar Canlas.
Pemberontakan ini tidak membesar karena militer Filipina yang setia pada pemerintah sudah mengantisipasi. Beberapa kelompok prajurit ditangkap dan dilucuti di tengah perjalanan sebelum sempat bergabung dengan grup yang lebih besar.
Setelah melalui negosiasi panjang, pemberontak akhirnya bersedia meletakkan senjata pada 29 Januari. Orang sipil yang terlibat dibawa ke Kamp Karingal di Quezon. Kemudian disusul penahanan anggota militer yang dikawal Brigadir Jenderal Rodolfo Biazon. Mereka ditahan di Fort Bonifacio yang berjarak sekitar 15 km dari pusat kota Manila.
Kepala Staf Angkatan Bersenjata Filipina Jenderal Fidel Ramos memerintahkan penangkapan sejumlah perwira yang terlibat seperti Brigjen Jose Ma Zumel, Kolonel Rolando Abadilla, Mayor Reynaldo Cabauatan, dan Letnan Kolonel Baquir. Peristiwa ini mengakibatkan satu prajurit pemberontak tewas dan puluhan lainnya terluka.
Sepanjang tahun 1986 sampai 1986, berlangsung tujuh kali upaya kudeta yang melibatkan militer. Tiga bulan setelah peristiwa Januari 1987, puluhan prajurit kembali melakukan upaya menggulingkan Aquino lewat peristiwa yang dikenal dengan nama Black Saturday.