70 Tahun Lalu, Parlemen Israel Klaim Yerusalem sebagai Ibu Kotanya

Mesin Waktu

70 Tahun Lalu, Parlemen Israel Klaim Yerusalem sebagai Ibu Kotanya

Pasti Liberti Mappapa - detikNews
Kamis, 23 Jan 2020 16:46 WIB
Foto: BBC World
Jakarta -

Tepat pada tanggal ini, 70 tahun yang lalu, parlemen Israel yang dikenal dengan nama Knesset memproklamasikan kota Yerusalem sebagai ibu kota Israel setelah melewati voting.

Sejarah kota ini dipenuhi dengan penaklukan demi penaklukan Mulai dari bangsa Asyur, Babilonia, Makedonia, dan Bizantium. Kota ini juga jadi rebutan dan saksi pertempuran dahsyat dalam Perang Salib. Lalu kemudian ditaklukkan oleh Kekaisaran Ottoman dari Turki. Inggris kemudian menguasai kota ini mulai 1917.


Dalam penguasaan Inggris, kawasan ini selalu panas akan konflik Yahudi dan Arab. Inggris akhirnya mengakui tak bisa menyelesaikan dan menyerahkan mandat tersebut pada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Laporan PBB yang berjudul The Status of Jerusalem menyebut, "Karena signifikansi dan simbolisme agama, Yerusalem mau tidak mau menjadi pusat konfrontasi Yahudi-Arab."

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

PBB lalu menyusun rencana untuk membagi kawasan tersebut. Yerusalem diberikan status khusus yakni ditempatkan di bawah kedaulatan dan kendali internasional. Namun yang terjadi konflik bertambah panas. Pasukan negara-negara Arab dari Mesir, Suriah, Yordania, dan Irak menyerbu saat negara Israel dideklarasikan pada 14 Mei 1948.

Usai perang, wilayah yang dikuasai Israel justru bertambah. Meluas ke wilayah Yerusalem Barat yang sebenarnya disiapkan berada dalam kendali internasional menurut resolusi PBB. Menurut laporan PBB, sekitar 60 ribu orang Palestina harus meninggalkan area tersebut. Sementara wilayah Yerusalem Timur dianeksasi Yordania yang saat itu belum masuk jadi anggota PBB.

ADVERTISEMENT


Simak Video ''Warga Iran Kompak Turun ke Jalan Memprotes Amerika dan Israel"

[Gambas:Video 20detik]



Mediator PBB asal Swedia, Folke Bernadotte mengatakan, "Kota Yerusalem harus diperlakukan secara terpisah dan ditempatkan di bawah kendali PBB yang efektif dengan otonomi lokal yang layak untuk komunitas Arab dan Yahudi, perlindungan penuh untuk tempat-tempat Suci dan situs-situs serta akses bebas ke sana, dan perlindungan untuk kebebasan beragama."

Beragam cara dilakukan PBB untuk menurunkan tensi konflik di wilayah itu, namun tak berhasil. Negara-negara Arab enggan untuk mengakui keberadaan Israel. Pihak sebaliknya juga mengabaikan resolusi PBB. Israel mendirikan gedung untuk Mahkamah Agung di Yerusalem. Knesset atau parlemen Israel juga memilih menggelar sidang di kota itu.

70 Tahun Lalu, Parlemen Israel Klaim Yerusalem sebagai Ibu KotanyaFoto: Instagram Donald Trump

Knesset bahkan memproklamasikan Yerusalem sebagai ibu kota negara pada 23 Januari 1950. Pihak yang setuju memenangkan voting dengan perbandingan suara 60 lawan 2. Suara minoritas yang menolak berasal dari Partai Komunis. Keduanya lebih mendukung resolusi PBB atas kota tersebut.

Setelah deklarasi tersebut, sejumlah kementerian kemudian turut mendirikan kantor di Yerusalem. Tak puas dengan bagian barat kota itu, pelan-pelan Israel mencoba mencaplok juga Yerusalem Timur. Hal itu baru terwujud pada perang enam hari di tahun 1967. Israel merebut separuh dari kawasan bagian timur itu.

Parlemen Israel juga mengeluarkan Undang-undang yang kemudian disebut Basic Law: Jerusalem, Capital of Israel pada 1980. Isinya menyebutkan bahwa Yerusalem, yang lengkap dan satu, merupakan ibu kota Israel. Di kota itu, berkedudukan Presiden, Knesset, pemerintahan, dan Mahkamah Agung. Aljazeera menyebut dengan Jerusalem Law itu Israel secara resmi menyatakan menganeksasi Yerusalem Timur.


Merespon langkah Israel tersebut, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 478 pada tahun 1980. Resolusi itu menyatakan Jerusalem Law "batal demi hukum". Aneksasi atas Yerusalem Timur disebut melanggar beberapa prinsip di bawah hukum internasional.

Presiden Amerika Serikat Donald Trump kemudian memberi pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel pada 2017 lalu. Kebijakan itu menuai kecaman dari berbagai negara termasuk Uni Eropa dan Rusia. Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan mengatakan keputusan Presiden Trump bisa 'menghapus prospek perdamaian' antara Israel dan Palestina.

"Baik Rusia maupun Turki meyakini bahwa keputusan (Presiden Trump) ini tidak membantu mendorong situasi (yang kondusif) di Timur Tengah. Justru menambah rumit," kata Putin di Ankara, Turki seperti yang dikutip BBC, Desember 2017 lalu. "Ini bisa merusak proses perdamaian Israel-Palestina."

PBB bahkan menggelar sidang darurat Majelis Umum pada 21 Desember 2017. Sebanyak 128 negara menentang pengakuan AS tersebut. Hanya sembilan negara yang mendukung langkah AS. Kantor berita AFP menyebutkan, negara yang berada di barisan yang sama dengan AS adalah Guatemala, Honduras, Togo, Mikronesia, Nauru, Palau, dan Kepulauan Marshall.

Halaman 2 dari 3
(pal/dnu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads