Berdasarkan salinan RUU yang didapat detikcom, Selasa (21/1/2020), salah satu kesalahan redaksional adalah pada Pasal 391. Pasal 391 itu mengatur soal penyelenggaraan prasarana perkeretaapian. Pasal 391 berbunyi:
Badan Usaha yang menyelenggarakan prasarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) wajib memenuhi standar prasarana perkeretaapian umum.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam rangka pelestarian lingkungan, dalam rencana tata ruang wilayah ditetapkan kawasan hutan paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas daerah aliran sungai (DAS) atau untuk beberapa daerah tertentu dapat kurang dari 30 (tiga puluh) persen yang disesuaikan dengan kondisi fisik dan geografis.
Lalu dari mana muncul Pasal 391 dalam RUU Cipta Lapangan Kerja? Selidik punya selidik, pasal 23 ayat 1 merujuk pada Pasal 23 UU Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, yang berbunyi:
Penyelenggaraan prasarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dilakukan oleh Badan Usaha sebagai penyelenggara, baik secara sendiri-sendiri maupun melalui kerja sama.
Contoh lain kesalahan ada dalam Pasal 392(1) RUU Cipta Lapangan Kerja. Tertulis:
Badan Usaha yang menyelenggarakan sarana perkeretaapianumum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 wajib melakukan pendaftaran usaha sarana perkeretapian.
Lalu apakah Pasal 25 RUU Cipta Lapangan Kerja? Ternyata isinya soal izin pengelolaan ruang. Selengkapnya berbunyi:
Persetujuan Izin Pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal .....diberikan kepada:
a. orang perseorangan warga negara Indonesia;
b. korporasi yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia; atau
c. koperasi yang dibentuk oleh Masyarakat.
Bila ditelusuri, Pasal 392(1) RUU Cipta Lapangan Kerja merujuk ke Pasal 32 UU Perkeretaapian, yaitu:
Badan Usaha yang menyelenggarakan sarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 wajib memiliki:
a. izin usaha; dan
b. izin operasi.
Contoh lain ialah Pasal 128 UU Cipta Lapangan Kerja, yang berbunyi:
Kegiatan usaha budi daya Tanaman Perkebunan dan/atau usaha Pengolahan Hasil Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh Perusahaan Perkebunan apabila telah mendapatkan hak atas tanah dan Perizinan Berusaha Perkebunan.
(Bunyi Pasal di atas serupa dengan 42 UU Perkebunan)
Lalu apa isi Pasal 41 UU Cipta Lapangan Kerja? Ternyata berisi soal instrumen kerusakan lingkungan, yaitu:
Instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup terdiri atas:
a. KLHS;
b. tata ruang;
c. baku mutu lingkungan hidup;
d. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup;
e. amdal;
f. UKL-UPL
g. perizinan;
h. instrumen ekonomi lingkungan hidup;
i. peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup;
j. anggaran berbasis lingkungan hidup;
k. analisis risiko lingkungan hidup; dan
l. audit lingkungan hidup dan instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan ilmu pengetahuan.
Lalu Pasal 41 yang dimaksud merujuk ke regulasi mana? Bisa jadi merujuk kepada Pasl 41 UU 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan:
1. Jenis Usaha Perkebunan terdiri atas usaha budi daya Tanaman Perkebunan, usaha Pengolahan Hasil Perkebunan, dan usaha jasa Perkebunan.
2. Usaha budi daya Tanaman Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan serangkaian kegiatan pratanam, penanaman, pemeliharaan tanaman, pemanenan, dan sortasi.
3, Usaha Pengolahan Hasil Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kegiatan pengolahan yang bahan baku utamanya Hasil Perkebunan untuk memperoleh nilai tambah.
4, Usaha jasa Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kegiatan untuk mendukung usaha budi daya tanaman dan/atau usaha Pengolahan Hasil Perkebunan.
Salah ketik juga ditemui di berbagai pasal. Salah satunya di Bab Ketentuan Penutup. Pasal 552 menyebutkan pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
w. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Kok bisa KUHPerdata dicabut total? Selidik punya selidik, huruf w adalah turunan dari poin sebelumnya. Sehingga seharusnya:
v. Pasal 1618; Pasal 1619; Pasal 1620; Pasal 1621; Pasal 1622; Pasal 1623 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta DPR mengesahkan RUU itu dalam waktu 100 hari.
"Saya akan angkat jempol, dua jempol, kalau DPR bisa selesaikan ini dalam 100 hari. Bukan hanya saya, tapi saya kira Bapak-Ibu dan Saudara-saudara semua juga acungkan jempol jika itu bisa diselesaikan dalam 100 hari... 1.244 pasal harus diselesaikan. Kalau ini betul-betul keluar, akan ada perubahan besar dalam pergerakan ekonomi kita dan pergerakan kebijakan kebijakan kita," kata Jokowi.
Dengan banyaknya copy-paste, akankan DPR mengejar jempol Jokowi?
Halaman 2 dari 4
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini