Ketua majelis hakim Fahzal Hendri bersandar pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 42/PUU-XIII/2015 yang memperbolehkan eks napi maju dalam Pilkada, asalkan sudah mengumumkan kepada publik sebagai mantan narapidana. Dengan alasan itu, hakim tidak mencabut hak politik Rommy.
"Berdasarkan pertimbangan di atas, maka hakim berpendapat berdasarkan putusan MK tersebut maka hakim sependapat putusan MK sehingga tidak perlu lagi menjatuhkan pidana tambahan hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik," kata hakim ketua Fahzal Hendri saat membacakan amar putusan dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Senin (20/1/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bahwa terhadap penuntut umum, maka majelis hakim berkesimpulan bahwa pencabutan hak dipilih diputus oleh MK," ujar hakim.
Sebelumnya, Rommy divonis 2 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 3 bulan kurungan. Rommy bersalah menerima uang terkait jual-beli jabatan di Kementerian Agama.
Rommy menerima uang Rp 255 juta dari Haris Hasanudin, yang mengikuti seleksi Kepala Kanwil Kemenag Jawa Timur. Rommy melakukan intervensi langsung ataupun tidak langsung terhadap proses pengangkatan Haris Hasanudin tersebut.
Selain Haris Hasanudin, Rommy bersalah menerima uang Rp 91,4 juta dari M Muafaq Wirahadi. Uang tersebut berkaitan dengan proses pengangkatan Muafaq sebagai Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Gresik.
Atas perbuatan itu, Rommy bersalah melanggar Pasal 11 UU Tipikor Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Simak Video "Rommy Berpuisi untuk Istri dan Anaknya di Sidang Pleidoi"
(fai/dhn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini