Iran, yang sedang berkonflik dengan Amerika, ternyata punya sejarah panjang sebagai negara yang pernah menjadi pusat peradaban Islam. Jauh sebelum Qasem Soleimani komandan Al Quds terbunuh, Iran punya sejarah konflik dalam negeri yang belum selesai hingga sekarang.
Konflik ini turut mempengaruhi hubungan Iran dengan dunia luar. Berikut sejarah peradaban Iran sebelum dan sesudah masuknya Islam hingga saat ini dikutip dari History Extra, yang ditulis ahli sejarah Iran Professor Ali M Ansari dari University of St Andrews.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejarah bangsa Iran dimulai dengan migrasi komunitas, yang disebut Iranian, dari Asia Tengah ke wilayah dataran tinggi Iranian pada milenium kedua sebelum masehi. Dunia selanjutnya mengenal dinasti Achaemid Persian sebagai salah satu yang terbesar di dunia, dengan administrasi berkualitas dan keyakinan religius. Keyakinan ini kemudian disebut Zoroastrianisme yang menekankan pada pikiran, perkataan, dan perbuatan yang baik.
Achaemenid Persian kemudian digantikan Parthian, sebuah dinasti baru yang berasal dari wilayah timur Iran. Parthian menggunakan mitos dan legenda untuk menghapus Achaemenid Persian dari ingatan masyarakat umum. Dinasti Parthian yang memilih bentuk pemerintahan desentralisasi bertahan hingga 500 tahun, sebelum digantikan Sasanian pada 224 M.
Sasanian punya bentuk pemerintahan lebih sentralisasi dibanding Parthian dengan satu raja lebih tinggi dibanding yang lain. Dinasti Sasanian mengenalkan Zoroastrianisme sebagai keyakinan yang baik dan resmi serta memiliki administrasi yang lebih rapi. Khusrau II, Raja Sasanias paling terkenal selanjutnya menjadi simbol tata administrasi dan segala hal baik yang terjadi di Iran praislam. Sasanian adalah lawan tangguh bagi bangsa Romawi dan Kekaisaran Byzantium yang berusaha mengalahkannya.
Iran saat masuknya Islam
Dinasti Sasanian ditaklukkan Islam, sebuah kekuatan baru yang muncul pada abad ketujuh dari Semenanjung Arab yang juga mengalahkan Kekaisaran Byzantium. Ide, praktik pemerintahan, serta budaya adil di Iran mempengaruhi bentuk dan perkembangan sistem khalifah dalam Islam. Masuknya Islam mengubah cara pandang Iran, namun praktik politik dan agama ternyata sejalan dengan keyakinan kuno Iran. Beberapa tokoh dengan pemikiran dan tata administrasinya diakui dunia adalah Ibnu Sina serta keluara Barmakids yang berasal dari wilayah Iran.
Pengaruh Iran pada Islam sangat jelas di era Khalifah Abbasiyah pada 749 M dan pemindahan ibukota dari Damaskus ke Baghdad. Bahasa Persia yang digunakan mulai mengadopsi abjad Arab hingga menjadi kekayaan bahasa dunia Islam dan menjadi salah satu alat komunikasi terbesar di dunia. Era Islam kemudian menyaksikan masuknya orang-orang Turki serta konflik dengan bangsa Mongol. Konflik ini memfasilitasi migrasi bangka Turki ke Iran, namun bangsa yang sudah menetap di wilayah tersebut justru harus pindah ke dataran Anatolia.
Masuknya bangsa baru ini memang memperkaya budaya namun tidak dengan tatanan politik dan ekonomi Iran. Sistem yang semula bersifat menetap (sedentary) dan stabil tak lagi sama sejak penaklukkan bangsa Mongol. Berbagai kemunduran inilah yang melahirkan pemikiran jika Iran, dengan kekayaan budaya dan sejarah, sebetulnya mampu berdiri sendiri. Iran, meski tergabung dalam sistem khalifah, sejak awal memang memiliki bahasa dan budaya yang berbeda dengan bangsa lain.
Dengan pemikiran dan keyakinan ini, muncul dinasti baru pada abad ke-16 yang disebut Safavid atau Safawi. Selain pada budaya, rasa percaya diri juga muncul pada tatanan politik bangsa Iran. Selanjutnya Safawi melakukan konsolidasi terkait posisinya di masyarakat dengan menetapkan Shiism, atau dikenal dengan Syiah, sebagai agama baru di Iran pada 1501. Adopsi Syiism atau Syiah inilah yang membedakan Iran dengan kerajaan lain, misal Ottoman dan negara-negara barat dengan rivalnya.
Setelah dua abad, dinasti Safawi membawa Iran terus berkembang terutama saat dipimpin Shah Abbas I (1587-1629), satu-satunya yang dikenal dengan sebutan The Great setelah penaklukkan Islam atas Iran. Di era inilah terbentuk kontak sistemik pertama antara Iran dan Eropa yang dibuktikan dengan kesepakatan politik dan perdagangan.
Iran setelah masuknya Islam
Saat kondisi Iran menjadi lebih baik pada abad ke-18, ternyata negara tersebut harus menghadapi situasi dunia internasional yang sangat berbeda dengan masa kekuasaan Islam. Ketika itu Safavid tak lagi menguasai Iran dan kepemimpinan Nader Shah (1736-1747) setelah jatuhnya dinasti tersebut juga sudah usai. Rusia dan Inggris, yang menguasai dunia, menganggap sistem ekonomi dan politik Iran kuno serta bergantung pada kekuasaan pemimpin yang kejam.
Inggris selanjutnya mengenalkan sistem bernegara, hukum dan aturan, serta konstitusi yang merupakan hal asing bagi Iran. Namun, ide ini mendapat tanggapan positif dari kalangan akademisi yang ingin membentuk sistem politik dan ekonomi yang baik bagi Iran. Sayangnya, suara kalangan akademisi ditentang kelompok kerajaan yang merasa memiliki kekuasaan terbesar di Iran. Tindakan kelompok kerajaan dilatari masa lalu Iran sebagai bangsa yang sempat besar, kaya budaya, dan menjadi standar bagi entitas lain.
Bangsa Eropa sendiri pada akhirnya ingin mempertahankan kekuasaan dan pengaruhnya di wilayah Iran. Pada 1906, constitutional revolution atau revolusi konstitusi terjadi di Iran yang menghasilkan sistem parlementer sesuai model Inggris. Revolusi pertama ini juga menghasilkan konstitusi dan pembagian kekuasaan. Peristiwa ini menjadi langkah awal yang mengubah seluruh tatanan politik Iran. Dinasti Pahlavi selanjutnya memastikan revolusi terlaksana dengan ambisi dan harapan yang terlalu tinggi.
Kehadiran Pahlavi menambah warna baru, karena dinasti tersebut awalnya didukung kalangan akademisi yang ingin melihat terbentuknya negara baru. Sebuah negara dengan sistem yang adil dan punya pendidikan yang baik. Reza Shah yang saat itu memimpin Iran sukses melakukan perubahan namun tidak memenuhi seluruh harapan pada pemerintahan yang baru. Pengaruh negara dan pemerintah tidak sejalan dengan pemenuhan hak dan peran masyarakat sipil. Reza Shah selanjutnya digantikan anaknya Mohammad Reza Shah.
Iran hingga kini
Iran dengan berbagai konflik dalam negeri terus berkembang dan menjalin hubungan dengan dunia internasional. Krisis terus berlanjut dengan kudeta atas perdana menteri Dr Mohammad Mosaddeq, yang menyarankan Dinasti Shah memimpin Iran bukan berkecimpung langsung atas sistem pemerintahan negara tersebut. Mulai revolusi pada 1906 hingga kudeta pada 1953, Iran belum lepas dari bayangan hitam akibat konflik yang tak juga selesai. Shah akhirnya merasa perlu memimpin sendiri revolusi untuk menciptakan sistem sosial dan ekonomi.
Sayangnya peran Shah tidak sejalan dengan perkembangan politik yang makin merujuk pada kepemimpinan tunggal di Iran. Mulai 1970an peran pimpinan religius Ayatollah Khomeini makin besar hingga Shah mundur dari pucuk pimpinan Iran pada 1978. Selanjutnya pada 1979 saat Shah diasingkan, Ayatollah Khomeini mengumumkan terbentuknya Republik Islam Iran menggantikan bentuk negara sebelumnya. Hingga kini, sistem tersebut belum mampu membawa Iran menjadi negara modern yang lebih baik. Secara umum, Iran terbagi atas kelompok yang pro republik dan condong pada pemerintahan Islam.
Dengan penjelasan tersebut Professor Ali M Ansari menyimpulkan konflik dalam negeri di Iran sebetulnya belum pernah selesai. Dominasi kalangan religius yang berujung kepemimpinan tunggal (supreme leader) menandakan konflik hanya berganti zaman. Dari yang sebelumnya pemimpin menggunakan mahkota di era dinasti, menjadi sorban sesuai yang digunakan kelompok religius.
Halaman 2 dari 3
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini