BPPT: Sistem Prakiraan Cuaca AS Tak Berdaya Prediksi Hujan Indonesia

BPPT: Sistem Prakiraan Cuaca AS Tak Berdaya Prediksi Hujan Indonesia

Danu Damarjati - detikNews
Senin, 13 Jan 2020 15:15 WIB
Gambar Ilustrasi hujan (Zaki Alfarabi/detikcom)
Jakarta - Akurasi prakiraan cuaca di Indonesia tengah menjadi perbincangan seiring viralnya prediksi salah bahwa 12 Januari kemarin akan terjadi hujan lebat. Hujan di Indonesia dinilai sulit diprediksi secara akurat.

"GFS (The Global Forecast System) yang banyak diacu oleh model prediksi hujan di Indonesia juga tidak berdaya memprediksi hujan beberapa minggu terakhir," kata Kepala Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi (TMC BPPT), Tri Handoko Seto, dalam keterangan persnya, Senin (13/1/2019).



GFS yang dia maksud adalah model prakiraan cuaca yang diproduksi Pusat Nasional untuk Prediksi Lingkungan (NCEP) Amerika Serikat (AS). Contoh kesulitan dalam memprediksi hujan di Indonesia adalah prediksi terhadap hujan pada pengujung 2019 hingga tahun baru 2020 kemarin.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Curah hujan di Jabodetabek 27 Desember sampai 2 Januari diprediksi 101 mm, tapi nyatanya 207 mm. Bahkan curah hujan di Halim Perdanakusuma akhir tahun 2019 yang terukur 377 mm itu diprediksi GFS 'hanya' kurang dari 30 mm," kata Tri Handoko.

Tri berbicara terkait kesalahan persepsi bahwa Minggu (12/1) kemarin dianggap banyak orang bakal terjadi hujan deras, dan ternyata Jakarta tidak diguyur hujan deras. Peringatan cuaca dari Kedutaan Besar AS untuk warganya di Indonesia juga telah disalahartikan oleh banyak orang dan akhirnya viral di media sosial, bahwa 12 Januari bakal hujan deras, padahal bukan demikian. Science and Tech Affair Kedubes AS bahkan menemui Tri Handoko untuk berdiskusi perihal isu prediksi cuaca itu.

"Memprediksi hujan di Indonesia bukanlah urusan mudah. Lembaga dunia yang kredibel memprediksi hujan di negaranya (lintang tengah) pun kewalahan memprediksi hujan di Indonesia (ekuator). Sinyal perubahan cuaca di ekuator tidak cukup jelas karena gaya coriolis di ekuator yang sangat kecil bahkan nol untuk lintang nol (Fc=X.sin lintang)," kata Tri Handoko.



Dilansir NOAA, bila bumi tidak berotasi dan dalam kondisi tetap, maka atmosfer akan bersirkulasi antara kutub-kutub (area bertekanan tinggi) dan khatulistiwa (area bertekanan rendah) dalam pola bolak-balik yang sederhana. Namun karena bumi berotasi, maka sirkulasi udara dibelokkan. Alih-alih bersirkulasi dalam pola lurus, udara berbelok cenderung ke kanan pada belahan bumi utara dan berbelok ke kiri di belahan bumi selatan, maka bentuknya adalah jalur lengkung. Pembelokan ini disebut gaya corilois, sebagaimana disebut Tri Handoko.



"Mempertimbangkan sulitnya memprediksi hujan di Indonesia secara kuantitatif dan akurat, juga prakiraan BMKG bahwa puncak musim hujan akan terjadi pada akhir Januari hingga awal Februari 2020 maka operasi TMC (Teknologi Modifikasi Cuaca) akan terus dilakukan secara profesional. Eskalasi operasi disesuaikan dengan eskalasi ancaman banjirnya. Hari perhari, jam per jam, bahkan menit per menit strategi operasi bisa berubah tergantung tingkat ancaman. Dengan tujuan mengurangi curah hujan penyebab banjir dan longsor. Bukan menghilangkan hujan," tutur Tri.

Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads