Mendiang KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur memiliki cara yang unik dalam mengkritik. Presiden ke-4 ini selalu menyelipkan humor saat mengkritik. Sehingga yang dikritik tak bisa marah apalagi merasa direndahkan.
Gus Dur pernah mengkritik budaya korupsi, kolusi dan nepotisme di masa Orde Baru. Saat itu Presiden Soeharto tengah gencar-gencarnya melakukan pembangunan infrastruktur. Gelar Bapak Pembangunan pun disematkan ke pria yang juga dijuluki The Smiling General itu.
Sayangnya banyak pejabat yang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme dalam membangun proyek-proyek pemerintah kala itu. Gus Dur mengkritik perilaku korup pejabat di masa Soeharto.
Pada suatu hari dalam sebuah acara, Gus Dur yang ketika itu sudah menjabat Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama memberikan pidato. Kepada hadirin Gus Dur cerita, bahwa suatu ketika penghuni surga yang berasal dari Indonesia melakukan musyawarah.
"Mereka berembuk dan sepakat ingin membangun jembatan. Jembatan itu nantinya akan menghubungkan surga dan neraka, sehingga baik penduduk surga dan neraka bisa saling mengunjungi," kata Gus Dur seperti dikutip dari buku, 'Gus Dur, Kisah-kisah Jenaka dan Pesan-pesan Keberagaman' karya Marwini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Para penghuni surga dan neraka pun kemudian membentuk panitia masing-masing. Penghuni neraka yang ditunjuk menjadi panitia langsung bekerja merancang struktur bangunan. Tak lama kemudian jembatan dari neraka menuju surga sudah selesai dibangun.
Berbeda dengan penghuni neraka, penghuni surga yang ditunjuk menjadi panitia tak kunjung merampungkan pembangunan jembatan . Jangankan bangunan, rancangan jembatannya saja belum jadi. Penghuni neraka pun marah ke penghuni surga. "Jembatan kami sudah selesai, sementara kalian ini masih belum melakukan apa-apa," protes penghuni neraka.
"Lah, bagaimana bisa kami mengerjakan pembangunan jembatan ini? Wong pimpinan proyeknya, pemborongnya, dan juga menteri-menterinya di neraka semua," kata penghuni surga.
Begitulah cara Gus Dur mengkritik. Menurut Marwini, cara Gus Dur mengkritik tidak membuat orang merasa dipermalukan. "Meskipun juga yang bersangkutan bisa sangat terpojokkan secara mental," tulis Marwini.
(erd/lus)