Kesempatan itu juga dimanfaatkan pimpinan MPR bertatap-muka dengan warga negara dan mahasiswa Indonesia. Pertemuan dengan warga negara dan mahasiswa Indonesia, itu berlangsung di Hotel Radisson Blue, dekat kantor KBRI Riyadh.
Riddho, salah seorang wakil mahasiswa Indonesia mengatakan, saat ini jumlah mahasiswa asal Indonesia yang sedang menuntut ilmu di Saudi mencapai 1.500 orang. Mereka kuliah di 19 kampus yang tersebar di 16 kota. Tidak hanya menuntut ilmu agama, tetapi juga sains dan teknologi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berbagai isu kemanusiaan, kata Ridho, sempat dibahas dan diadvokasi mahasiswa. Antara lain penindasan yang terjadi terhadap rakyat Palestina, Uighur dan Rohingnya. Bahkan, mahasiswa sempat melakukan simposium internasional di Amman, Yordania untuk membahas isu global dan perdamaian dunia. Perwakilan mahasiswa dari 17 negara di kawasan Timur Tengah, hadir pada acara tersebut.
"Kami ingin mengetahui sejauh mana sikap pemerintah Indonesia terhadap masalah kemanusiaan seperti Palestina dan Uighur. Kami sudah berdiskusi dan kampanye damai, namun yang dibutuhkan adalah tindakan kongkret. Kami sadar itu hanya bisa dilakukan oleh pemerintah yang memiliki otoritas dan sumber daya," ujarnya.
Sementara itu, Nur Iman, mahasiswa KSU yang mendalami food industry, mengatakan isu politik identitas yang mewarnai perpolitikan nasional, berdampak kepada mahasiswa di luar negeri. Dampak yang meresahkan berupa stigma negatif radikalisme terhadap penampilan fisik.
"Saya pernah tertahan beberapa lama di bandara tanah air ketika hendak berangkat ke luar negeri hanya karena bercelana cingkrang dan sedikit jenggotan. Padahal saya tidak terlibat organisasi radikal apapun. Kami hanya ingin belajar dan berkontribusi kepada bangsa dan negara. Kita juga mengetahui dari sejarah, betapa besar kontribusi umat Islam terhadap Indonesia. Mengapa sekarang harus dicurigai?," ungkap Iman.
Menanggapi penyataan itu, Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid sangat senang melihat semangat mahasiswa. Itu mengingatkan saat Hidayat belajar di Islamic University Madinah selama 13 tahun (1980-1993) untuk menempuh pendidikan sarjana hingga doktoral. Hidayat juga pernah aktif sebagai Ketua PPI cabang Arab Saudi sebelum berubah menjadi PPMI.
"Perlu dijelaskan posisi MPR (yang terdiri dari anggota DPR dan DPD RI) dalam tata negara memang berbeda dengan pemerintah atau Presiden dan kabinetnya. Posisi kami mengawasi jalannya pemerintahan sesuai UUD NRI 1945 dan UU terkait. Jika sikap pemerintah sudah sejalan dengan semangat konstitusi, maka kita dukung. Bila menyimpang, kami akan ingatkan," tegasnya.
Berkaitan dengan sikap dan kebijakan pemerintah terhadap isu-isu kemanusiaan memiliki koridor tersendiri, yang biasa disebut kepentingan nasional. Namun, konstitusi juga menggariskan prinsip yang harus dipegang pemerintah dalam menjalankan kebijakan.
"Dalam kaitan dengan isu Palestina, kami melihat pemerintah sudah cukup serius. Mulai dari upaya diplomatik di forum internasional maupun tindakan di lapangan. Namun, dalam isu Uighur yang mencuat saat ini, kami ingatkan agar pemerintah Indonesia jangan sekadar menjadi penonton. Karena sudah 22 negara anggota PBB yang menyetujui petisi agar pemerintah RRC diminta penjelasan Komisi HAM PBB," ungkap dia.
Simak Video "Tidak Ketemu Dubes China, Massa Aksi Peduli Uighur Bubarkan Diri"
(ega/ega)