Hal ini disampaikannya saat menjawab pertanyaan wartawan terkait adanya anggapan kecenderungan Mahfud dalam menyelesaikan pelanggaran HAM berat secara non-yudisial dibandingkan jalur yudisial di acara Refleksi Akhir Tahun Bersama Wartawan, di Bakso Boedjangan, Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat, Kamis (26/12/2019).
"Apakah saya lebih cenderung ke non-yudisial? Nggak ada kecenderungan saya," kata Mahfud di lokasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mahfud menjelaskan saat ini masih ada 12 kasus pelanggaran HAM Berat yang akan diselesaikan pemerintah. Dia memastikan nantinya seluruh kasus akan ada penanganan sendiri-sendiri hingga terselesaikan.
"Nanti akan ada, itu kan ada dua belas kasus ya. Nanti akan ada kriteria, yang begini begini-begini nih ke yudisial. Yang begini, begini, begini, nggak bisa ke yudisial, harus non-yudisial, gitu aja. Yang mana? Nanti aja, kita buat undang-undangnya dulu, kriterianya. Sehingga nggak ada kecenderungan," ungkap Mahfud.
"Saya hanya ingin berakhir, yang bisa akhiri dengan yudisial, masuk. Yang tidak bisa, tutup. Kan gitu. Kalau ditutup terus apa syaratnya, apa follow up-nya. Kan gitu kan harus diatur. Begitu aja sebenarnya," sambungnya.
Simak Video "Mahfud Bertemu dengan Komnas HAM Bahas Penuntasan Kasus HAM Berat"
Selain itu, Mahfud menyampaikan keinginan Presiden Jokowi agar kasus pelanggaran HAM ini tidak melulu dikaitkan dengan isu politik. Dia pun mencontohkan Pilpres dan Pilkada di Banyuwangi.
"Keinginan Pak Jokowi kan itu agar tidak jadi isu politik terus ya," ujar Mahfud.
"Nanti ada Pilkada ramai lagi, di-up (pelanggaran HAM Berat), ada ini, rame lagi. Apalagi Pilpres, Pilgub. Itu semua bicara HAM-HAM yang tidak selesai. Kalau ada backing, 'oh itu di-backing oleh itu di-backing oleh itu loh yang terlibat HAM'. Padahal dia pemilihan di Banyuwangi, nggak ada kaitannya. Diangkat-angkat terus," pungkasnya.
Halaman 2 dari 2











































