Saat ini, ia bersama 130 kepala keluarga menempati hunian sementara (huntara) di Kampung Citanggok, Labuan. Kebanyakan, penghuni adalah korban yang rumahnya hancur persis di bibir pantai. Mereka mayoritas nelayan atau pedagang ikan.
![]() |
"Masih inget kejadiannya, rumah hancur. Itu ketahuan datang gelombang air, yang kedua dan ketiga datang lagi air dari laut yang keempat yang paling besar," kata Nursidik saat ditemui detikcom di Labuan, Pandeglang, Minggu (22/12/2019.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Belakangan, Nursidik sudah jarang mencari ikan di laut. Untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, ia mengandalkan bantuan jaminan Rp 10 ribu per kepala yang diberikan pemerintah. Itu pun terakhir kali diberikan pada November dalam bentuk rapelan.
Tonton juga Gempa Malut-Sulut Berpotensi Tsunami, Warga Manado Terasa Guncangan Kuat :
Warga lain, Suma'ah asal Kampung Karet, juga enggan kembali tinggal di pinggir pantai. Ia memilih dipindahkan ke lokasi yang lebih tinggi dan menunggu dibuatkan hunian tetap oleh pemerintah.
"Masih trauma, angkat tangan kalau pindah lagi ke sana," ujarnya.
Sebagian warga di huntara mengaku tidak ada pilihan. Mereka terpaksa menempati hunian yang terbuat dari seng.
Untuk fasilitas air, dibuatkan pemandian umum dan tempat mencuci. Namun, ada sebagian warga yang membuat kamar mandi di dalam rumah.
"WC umum ada, tapi rusak dan kalau musim hujan nggak bisa dipakai," kata warga lain bernama Fitriani. (bri/rvk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini