Jalan Lunak Indonesia untuk Diplomasi Muslim Uighur

Round-Up

Jalan Lunak Indonesia untuk Diplomasi Muslim Uighur

Tim detikcom - detikNews
Kamis, 19 Des 2019 21:34 WIB
Mahfud Md (Jefrie Nandy Satria/detikcom)
Jakarta - Isu kekerasan pemerintah China terhadap muslim Uighur di Provinsi Xinjiang menyita perhatian sejumlah pihak. Indonesia, sebagai salah satu negara dengan penduduk mayoritas Islam di dunia, memilih jalan diplomasi untuk menyelesaikan persoalan tersebut.

Isu mengenai muslim Uighur ini kembali mencuat setelah adanya pemberitaan Wall Street Journal yang menuding China membayar sejumlah ormas di Indonesia agar tak mengkritik soal kondisi muslim Uighur. Bantahan kemudian disampaikan oleh Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah.

"Muhammadiyah tidak boleh melakukan kegiatan hanya karena ada dana. Dan tidak boleh juga lidahnya kelu karena didanai. Saya perlu menyampaikan ini menutup pengantar saya, karena dua hari terakhir ini banyak sekali beredar di media khususnya di media online, berita dari Wall Street Journal yang judulnya itu provokatif, yang judulnya menyebutkan karena diplomasi China, dibiayai China, maka NU dan Muhammadiyah itu lidahnya kelu tidak mengkritik perlakukan pemerintah China terhadap muslim Uighur," kata Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT



Mu'ti menyampaikan itu dalam pengajian bulanan PP Muhammadiyah bertajuk 'Regulasi Majelis Taklim: Haruskah?' yang digelar di kantor PP Muhammadiyah, Jakarta, Jumat (13/12). Rekaman ditayangkan di channel YouTube tvMU Channel seperti dilihat pada Sabtu (14/12).

Mu'ti menegaskan Muhammadiyah independen. Dia mengatakan Muhammadiyah tidak bisa dibeli.

"Saya kemudian menjawab tidak ada ceritanya Muhammadiyah itu bisa dibeli. Muhammadiyah itu akan senantiasa independen dalam setiap pernyataan dan kegiatan-kegiatannya, bahkan kalau ada yang mengatakan Muhammadiyah itu hanya karena dibiayai ke sana kemudian kehilangan hati nuraninya, itu termasuk kelompok yang tasytaru biayatillahi tsamanan qolilan (menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang murah), sesuatu yang tidak akan mungkin dilakukan oleh Muhammadiyah," ujarnya.



Kondisi muslim Uighur ini kembali menghangatkan diskursus di Indonesia. Majelis Ulama (MUI) angkat bicara mengenai isu tersebut. MUI meminta China menghentikan kekerasan terhadap muslim Uighur.

"Sangat sulit bagi pemerintah China untuk membantah dan mengingkari bahwa di Uighur tidak ada pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia dari umat Islam yang ada di sana. Dan juga sangat sulit bagi pemerintah Amerika untuk membantah dan mengingkari bahwa mereka juga telah melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dari rakyat Afghanistan dan Palestina," kata Sekjen MUI Anwar Abbas kepada wartawan, Senin (16/12/2019).

"Untuk itu, MUI mengimbau dan meminta kepada pemerintah China dan Amerika agar menghentikan segala bentuk kekerasan dan tindakan pelanggaran HAM terhadap umat Islam Uighur dan rakyat Afghanistan dan Palestina," imbuh Anwar Abbas.



Anwar Abbas mengatakan kekerasan terhadap umat Islam tak akan membuat perjuangan mereka dalam mendapatkan hak-hak berhenti. Umat Islam, kata Anwar, tak akan takut.

"Ketahuilah bahwa cara-cara kekerasan dan pelanggaran terhadap HAM yang dilakukan oleh pemerintah China dan Amerika, terutama terhadap umat Islam, tidak akan pernah bisa dan mampu bagi membuat umat Islam menjadi takut dan akan berhenti untuk memperjuangkan nasib dan hak-haknya," sebut Anwar Abbas.



Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR, Fadli Zon, juga ikut berpendapat. Fadli meminta pemerintah Indonesia lebih progresif dan mendorong China melakukan dialog agar polemik soal muslim Uighur bisa diselesaikan.

"Tuduhan itu tentu saja bersifat sepihak sehingga masih perlu dibuktikan kebenarannya. Di sisi lain kita menaruh prasangka baik bahwa ormas-ormas Islam di Indonesia tak akan menggadaikan integritas dan solidaritasnya hanya demi sumbangan. Apalagi mereka sendiri telah membantahnya," kata Fadli dalam keterangan tertulis, Senin (16/12).



Dia mengatakan saat ini propaganda saling menjatuhkan antara Amerika Serikat (AS) dan China sedang terjadi. Dia mencontohkan adanya surat terbuka dari 22 duta besar untuk PBB kepada Dewan HAM yang mengecam perlakuan China terhadap muslim Uighur di Xinjiang.

Sementara itu, pakar hukum internasional Universitas Indonesia (UI) Prof Hikmahanto Juwana meminta pemerintah Indonesia bersikap tegas terkait isu Uighur. Menurut Hikmahanto, perlakukan pemerintah China terhadap minoritas Uighur sangat memprihatinkan.

"Mengingat masalah Uighur sudah menjadi isu internasional dan Indonesia sebagai negara berpenduduk Islam sudah sepantasnya bila Indonesia bersuara keras dan lantang. Ini masalah tidak hanya masalah solidaritas muslim tetapi HAM sudah diinjak-injak oleh pemerintah China terhadap Uighur. Tidak seharusnya mereka mendapat perlakuan yang melanggar HAM," kata Hikmahanto kepada detikcom, Rabu (18/12).



Sedangkan Menko Polhukam Mahfud Md menegaskan pemerintah Indonesia sudah lama ikut terlibat dalam penyelesaian masalah muslim Uighur. Menurut Mahfud, Indonesia melakukan diplomasi lunak terkait isu tersebut.

"Itu Bu Menlu sudah melakukan langkah-langkah ya. Kita punya jalan diplomasi lunak sejak dulu, kita menjadi penengah dan mencari jalan yang baik, bukan konfrontatif gitu ya. Oleh sebab itu, nanti Bu Menlu sudah bukan menyiapkan karena kasus lama ya. Kita sudah sering," kata Mahfud di Hotel Aryaduta, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (19/12).



Bukan hanya pemerintah, kata Mahfud, upaya mencarikan solusi bagi muslim Uighur juga dilakukan oleh berbagai organisasi keagamaan. Kendati demikian, menurut Mahfud, Indonesia perlu mengetahui secara jelas duduk perkara isu kekerasan terhadap muslim Uighur.

"Kemudian dari kelompok masyarakat ada Majelis Ulama, Muhammadiyah, MUI, sudah ke sana, dan sebagainya. Kita cari jalan yang baiklah, kita tidak bisa mendiamkan peristiwa itu. Tapi juga kita harus tahu masalah yang sebenarnya," katanya.

Mahfud menilai Indonesia harus lebih objektif dalam memandang konflik. Menurut Mahfud, tidak semua muslim di China mengalami hal yang sama dengan muslim Uighur.

"Karena di China itu kawasan muslim kan banyak juga, bukan hanya Uighur, saya pernah ke Beijing. Pernah ke tempat lain aman-aman saja tuh, tapi kalau di Uighur terjadi begitu ada apa?" tegasnya.

Pihak Republik Rakyat China (RRC) sudah menyampaikan bantahan atas pemberitaan soal muslim Uighur. RRC menyatakan konstitusi negara mereka memberi jaminan kebebasan agama dan kesetaraan tiap warga negara.

"Tiongkok merupakan negara multietnik dan multiagama. Undang-undang Dasar maupun hukum Tiongkok memberikan perlindungan seutuhnya untuk menjamin kesetaraan antar-etnik, kebebasan beragama dan kepercayaan, serta hak asasi manusia (HAM)," demikian keterangan yang disampaikan Kedutaan Besar (Kedubes) RRC di situs resmi mereka seperti dilihat, Kamis (19/12).

Dia mengatakan pemerintah RRC menjamin hak dasar dan untuk berkembang 25 juta warga Xinjiang dari berbagai etnik. Namun dalam kurun 1990-2016 terjadi ribuan kasus kekerasan dan terorisme di Xinjiang.

Kasus tersebut melibatkan serangan bahkan pembunuhan terhadap banyak warga tidak berdosa, termasuk warga muslim Uighur dan pemuka agama. Sehingga Pemerintah Daerah Otonom Xinjiang mengambil serangkaian tindakan hukum untuk memberantas kekerasan, terorisme, dan melakukan program deradikalisasi. RRC mengklaim langkah tersebut berhasil.

"Dalam tiga tahun terakhir, tidak satu pun kasus serangan terorisme yang terjadi di Xinjiang. Isu yang berhubungan dengan Xinjiang pada dasarnya bukan isu HAM, etnik, ataupun agama, melainkan masalah pemberantasan separatisme dan terorisme," kata dia.
Halaman 2 dari 4
(knv/gbr)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads