"Film ini kita buat untuk menyentuh orang Indonesia, kita mau bicara soal lingkungan hidup, kita mau bicara soal climate change. Selama ini kan dengernya dari politisi, scientist, ambasador, dari birokrat, tapi saya ingin mencoba menyentuhnya dari yang paling dekat yaitu agama, kepercayaan dan budaya," jelas Nicholas.
Hal itu ia ungkapkan dalam presentasinya dalam sesi diskusi bertema 'Storytelling to Communicate Climate Crisis' di Paviliun Indonesia pada COP25 di Madrid, Spanyol, Kamis 11 Desember 2019.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Film dokumenter menurutnya merupakan cara terbaik untuk menggerakkan kepedulian masyarakat akan krisis iklim yang terjadi saat ini. Film menjadi salah satu strategi dalam berkomunikasi secara personal dengan penonton.
Dalam kesempatan itu, Nico, sapaan akrabnya, juga memutar trailer film tersebut yang akan ditayangkan pada 30 Januari 2020. Film tersebut menceritakan tentang perubahan yang dilakukan masyarakat di 7 daerah untuk mengembalikan iklim yang lebih baik.
"Misalnya ada satu keluarga di Jogja yang mengelola 3 hektare lahan yang tandus, sudah kering dan berbatu. Dia kelola, dia suburkan lagi untuk menumbuhkan tumbuh-tumbuhan untuk peternakan, mempraktekan argoforestry yang semuanya tidak ada waste. Mereka makan dari kebun sendiri, ini sebuah gerakan prinsip yang bisa menjadi contoh praktek argokultur yang baik, ini berdasarkan iman islamnya beliau," tuturnya.
Nico yakin, lewat film tersebut bisa membuat perubahan bagi masyarakat untuk lebih menghargai alam dan lebih sadar akan perubahan iklim.
"Yakin, film sudah terbukti. Film itu no doubt, udah terbukti bisa membuat perubahan, mempengaruhi pemikiran orang dan suatu hal yang tidak perlu diragukan lagi," katanya.
Sementara Manager Climate Reality Indonesia, Amanda Katili memperlihatkan bagaimana pendekatan budaya dalam mengubah perilaku dalam krisis perubahan iklim. Seperti yang dilakukan para wanita di pedalaman di Kalimantan Barat yang menggantungkan hidup dari alam.
"Mereka membuat barang untuk aktivitas mereka sendiri dengan menggunakan rotan, tidak ada plastik di sana, tetapi mereka menggunakan rotan. Ini adalah sumber daya alam berkelanjutan," kata Amanda.
Amanda bersama komunitas lokal membuat program 'Menenun Keberlanjutan', di sana mereka mengajari masyarakat setempat untuk membuat produk dari rotan lebih variatif, sehingga produk mereka bisa dijual. Bahkan produk mereka terjual ke luar negeri dengan bantuan desainer produk bernama Vinto.
![]() |
"Ini adalah produk best seller mereka di Eropa, dibuat oleh Vinto (desainer produk)," kata Amanda.
Sedangkan Field Organizer 350.org in Filipina, Beatrice Tulagan bersama komunitasnya membuat gerakan perubahan dengan menggunakan digital media.
"Dalam 350.org kami fokus pada organisasi dan kami juga fokus pada storytelling. Lalu apa itu digital storytelling? Jadi ini basic-nya menggunakan perangkat digital media seperti sosial media, fotografi, visualisasi database, pemetaan untuk mengkomunikasikan apa yang ingin anda komunikasikan terkait krisis iklim," kata Beatrice.
Halaman 2 dari 2
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini