Dalam berkas putusan PN Jakpus No 228/Pdt.G/2006/PN.JKT.PST yang dikutip detikcom, Kamis (12/12/2019), gugatan itu didaftarkan oleh 58 orang terdiri dari pemerhati, aktivis, dan orang tua murid dari korban Ujian Nasional (UN) 2006. Mereka tergabung dalam Tim Advokasi Korban Ujian Nasional (TeKUN). Yang digugat adalah Presiden SBY, Wapres JK, Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan Bambang Soehendro.
Penggugat mengajukan banyak contoh kasus kegagalan UN. Seperti banyak peserta didik yang berprestasi harus kehilangan peluang melanjutkan ke perguruan tinggi favorit seperti di Universitas negeri Brawijaya, Institut Pertanian Bogor, Universitas Gajah Mada, dan menerima beasiswa dari Jerman Australia yang harus terhambat kesempatannya.
Bahkan peserta didik yang mendapatkan penghargaan Olimpiade Fisika pun harus tidak lulus oleh karena salah satu mata pelajaran UN tidak mencukupi standar kelulusan. Selain itu, dampak lainnya adalah menimbulkan sikap mengambil jalan pintas peserta didik yang tidak lulus UN.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah melalui persidangan yang panjang dan melelahkan, PN Jakpus mengabulkan permohonan tersebut. Pada 21 Mei 2017, ketua majelis Andriani Nurdin--kini Wakil Ketua Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta-- memutuskan:
1. Mengabulkan gugatan subsidair Para Penggugat;
2. Menyatakan Para Tergugat telah lalai dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan Hak Asasi Manusia terhadap warga negaranya yang menjadi korban UN khususnya hak atas pendidikan dan hak-hak anak;
3. Memerintahkan Para Tergugat untuk meningkatkan kualitas guru, sarana dan prasarana sekolah di seluruh Indonesia sebelum mengeluarkan kebijakan Pelaksanaan UN lebih lanjut;
4. Memerintahkan Para Tergugat mengambil langkah-langkah konkrit untuk mengatasi gangguan psikologis dan mental peserta didik akibat penyelenggaraan UN;
5. Memerintahakan Para Tergugat meninjau kembali Sistem Pendidikan Nasional;
6. Menghukum Para Tergugat untuk membayar biaya perkara.
Simak Video "JK Kritik Penghapusan UN, Ini Jawaban Nadiem"
Andriani Nurdin dkk setuju dengan konsep UN yang diutarakan pemerintah yaitu merupakan upaya memperbaiki bangsa. Namun, Presiden dkk telah mengabaikan fakta-fakta yang terdapat di seluruh daerah di Indonesia bahwa kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, dan akses informasi di seluruh Indonesia tidaklah sama.
"Selain itu, Para Tergugat mengabaikan fakta-fakta yang muncul dari implikasi dilaksanakannya UN, yaitu muncul kecurangan-kecurangan yang dilakukan guru maupun murid untuk mendongkrak nilai," ujar Andriani Nurdin.
Baca juga: JK Kritik Penghapusan UN, Ini Jawaban Nadiem |
Pemerintah dinyatakan telah melalaikan kewajiban hukumnya terutama di bidang pendidikan, dan melanggar hak subjektif peserta didik yang tidak lulus UN karena ketidaklulusan telah mengacu pada standar kelulusan UN tanpa mempertimbangkan nilai-nilai yang diperoleh lainnnya. Presiden SBY dkk juga sekaligus melanggar kaidah tata susila, dan bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian
"Dengan terpenuhinya semua unsur dalam Pasal 1365 KUHPerdata, maka Para Tergugat dipandang telah terbukti melakukan perbuatan melawan hukum dalam konteks lalai dalam pemenuhan dan perlindungan Hak Asasi Manusia terhadap warga negaranya, khususnya Hak atas Pendidikan dan Hak-hak anak. Perbuatan melawan hukum dalam konteks kelalaian diatur dalam Pasal 1366 KUHPerdata," ujar majelis hakim.
Putusan PN Jakpus itu dikuatkan Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta pada 6 Desember 2007 dan juga Mahkamah Agung (MA) pada 14 September 2009.
12 Tahun berlalu, Mendikbud Nadiem kini menindaklanjutinya dengan menghapus UN mulai 2021.
"Ini adalah ronde pertama 'Merdeka Belajar'. Tidak ada perubahan yang nyaman-nyaman saja. Semua perubahan itu pasti ada tantangnnya. Semua perubahan pasti ada ketidaknyamanannya," kata Nadiem di Hotel Bidakara, Jalan Gatot Subroto, Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (11/12/2019).
Halaman 2 dari 4
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini