Merujuk pada tulisan 'Ngayau dari Masa ke Masa: Dari Penggal Kepala Hingga Membajak Tenaga Kerja Terampil' yang ditulis oleh R Masri Sareb, kayau memilki banyak ragam dalam kehidupan Suku Dayak. Dia mencontohkan, dalam tradisi Dayak Iban tradisi kayau dibagi dua macam, yakni kayau besai dan kayau anak.
"Kayau anak jika perang/balas dendam antar sesama keluarga saja, tidak melibatkan banyak orang atau warga kampung. Namun kayau besai baru melibatkan warga seluruh kampung," tulis Masri dalam tulisan yang termuat dalam jurnal 'Prosiding Kongres Internasional: Kebudayaan Dayak 1: Menjadi Dayak' itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, Masri menjelaskan bahwa harus ada alasan yang kuat untuk melakukan kayau. Jika tidak, maka orang yang memprovokasikan isu untuk kayau itu justru akan mendapatkan sanksi adat.
Komunikasi 'Mangkok Merah' untuk Melakukan Kayau
Masih berdasarkan tulisan Masri, mengajak orang untuk melakukan kayau juga tak bisa sembarangan. Caranya yakni dengan memakai komunikasi 'mangkok merah', yakni mangkok berisi darah ayam, abu, batang korek api dan bulu ayam. Mangkok ini disampaikan secara berantai dari kampung ke kampung. Pembawa mangkok merah wajib menjelaskan maksud mangkok merah itu kepada penerimanya.
Usai mangkok merah diedarkan, maka warga berkumpul untuk menyelenggarakan upacara 'tariu' yang berarti menyerukan semangat. Selanjutnya, perintah perang pun dikumandangkan melalui upacara ini.
Kayau yang Disalahpahami
Lebih lanjut, Masri pun menjelaskan bahwa tradisi ini kerap disalahpahami oleh orang luar Dayak. Salah satunya, dia mengkritik pandangan naturalis Carl Bock asal Norwegia yang ia nilai membuat makna kayau menjadi bias dan mereduksinya hanya sebagai tradisi penggal kepala.
"Citra orang Dayak di masa lalu dibentuk orang (luar) tanpa bisa, atau tepatnya tanpa daya untuk diluruskan. Dikaitkan dengan motivasi ngayau yang lain, maka pembiasan-pembiasan oleh Bock ini mislead," ungkap Masri.
Masri memaparkan beberapa motivasi kayau. Beberapa di antaranya seperti melindungi pertanian, balas dendam, mempertahankan diri hingga keyakinan bahwa kepala musuh merupakan penambah daya tahan berdirinya bangunan.
Namun, tradisi kayau antar suku-suku dayak ini sepakat diakhiri oleh Dayak Borneo Raya. Kesapakatan ini dilakukan dalam Musyawarah Besar Tumbang Anoi di Desa Huron Anoi Kahayan Ulu, Kalimantan Tengah, pada tahun 1894.
Menurut Masri, kini makna dari kayau sudah berubah. Kayau bukan lagi soal pemenggalan kepala. Kayau di era modern dimaknai sebagai perang melawan keterbelakangan, kebodohan, kemiskinan atau segala hal yang menghambat kemajuan masyarakat Suku Dayak.
Sebelumnya, polisi sudah menepis isu viral yang mengaitkan kematian bocah tanpa kepala dengan tradisi kayau. Polisi menegaskan bahwa bocah itu merupakan korban sodomi dan pembunuhan.
"Kami rilis (kasus sodomi dan pembunuhan) karena ini (informasi) sifatnya viral dan di Kalteng ada isu 'kayau'. 'Kayau' itu pemenggalan kepala yang sifatnya digunakan untuk ritual adat, nah itu kita tepis isu itu," tegas Kabid Humas Polda Kalteng Kombes Hendra Rochmawan saat dihubungi, Selasa (10/12/2019).
Baca juga: Bakonsu, Saksi Bisu Ritual Potong Kepala |
Bocah H disodomi tersangka berinisial A. Setelah disodomi, bocah H dipenggal kepalanya oleh pelaku di bekas penambangan emas tanpa izin di Tumbang Mahop, Katingan Hulu.
Sodomi dan pemenggalan kepala bocah terjadi pada Selasa (3/12). Namun mayat bocah tanpa kepala baru ditemukan pada Jumat (6/12).
Kombes Hendra mengatakan pelaku A ditangkap pada Senin (9/12) sore. Dari penangkapan ini, polisi menemukan lokasi kepala yang dipendam pelaku 100 meter dari lokasi temuan mayat bocah H.
Halaman 3 dari 3
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini