Pasukan Jepang pada 11 November 1937 bergerak ke arah barat dari Shanghai menuju Nanjing. Tentara Jepang yang dibagi dalam tiga grup. Nakajima Kesago memimpin grup pertama dari arah barat melewati tepi selatan Sungai Yangtze.
Grup ini lalu disusul kelompok pasukan yang dipimpin Matsui Iwane dan Yanagawa Heisuke. Karena sakit, Matsui digantikan oleh seorang jenderal yang juga anggota kerajaan bernama Pangeran Asaka Yasuhiko.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk mempercepat mengakhiri perlawanan, Jepang menawarkan perlakuan yang adil bagi prajurit yang bersedia menyerah. Memang tak sampai seminggu perlawanan pasukan China meredup, Nanjing bertekuk lutut. Namun ini sekaligus menghadirkan masalah baru bagi Jepang.
Militer Jepang tak bisa memberi makan atau menampung tawanan perang yang sangat banyak itu. Buku 'The Rape of Nanjing' yang disusun Iris Chang, sejarawan cum wartawan menyebut pada 13 Desember, Batalyon ke-66 Jepang menerima perintah dari Pangeran Asaka.
Perintahnya berbunyi, "Semua tahanan perang harus dieksekusi. Metode eksekusi: tahanan dibagi dalam kelompok-kelompok, satu kelompok jumlahnya selusin tahanan. Bunuh secara terpisah dengan cara ditembak."
Amaran untuk membunuh semua tahanan tampaknya berasal dari keinginan untuk menghindari biaya perawatan tawanan perang serta mencegah pemberontakan lebih lanjut di antara para tahanan.
Komando eksekusi tawanan kembali datang pada 17 Desember. Pagi-pagi, para tahanan dipindahkan ke pulau Baguazhou di Sungai Yangtze dengan kondisi tangan terikat.
Para tahanan itu kemudian diminta berbaris ke tepi sungai. Prajurit Jepang mengepung dan kemudian mulai menembak. Untuk memastikan semua tahanan tewas, malamnya pasukan Jepang membayonet tubuh-tubuh yang tergeletak satu per satu.
Kisah kejam tak berhenti di situ. Pemerkosaan massal pun terjadi di kota sebelah timur daratan China tersebut. Pemerkosaan itu diikuti pembunuhan yang tak kalah sadis. Sejumlah korban dipotong payudaranya ada juga yang dipaku hidup-hidup di dinding.
Asaka akhirnya ditarik kembali ke Jepang pada Februari 1938. Dia kembali pada posisinya sebelum perang Nanjing sebagai anggota Gunji Sangiin atau Dewan Perang Tertinggi Kekaisaran Jepang.
Setelah Jepang menyerah, staf Jenderal Douglas MacArthur, Panglima Tertinggi Sekutu pernah menginterogasi Asaka soal keterlibatannya dalam pembantaian di Nanjing. Namun dia tak pernah dituntut dalam mahkamah militer International Military Tribunal for the Far East sebagai penjahat perang.
Kekebalan hukum itu didapatkan salah satunya karena keputusan Jenderal MacArthur yang mendukung pemberian imunitas kepada keluarga kekaisaran. Pertimbangan geopolitik dan strategi politik menjadi alasannya.
Padahal menurut sejumlah kesaksian di mahkamah militer menyebut diperkirakan sekitar 300 ribu orang tewas dalam pembantaian yang terstruktur dan sistematis itu. Sementara 80 ribu perempuan mengalami pemerkosaan.
Masih kontroversial, apakah pembantaian Nanjing ini berawal dari perintah Pangeran Asaka atau bukan. Buku The Rape of Nanjing juga menyebut dugaan, pembantaian itu dilakukan tanpa persetujuan Pangeran Asaka.
Halaman 2 dari 3
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini