Diplomasi Universal Anak Aceh

Dari Forum on Indonesia 2005, Oslo

Diplomasi Universal Anak Aceh

- detikNews
Jumat, 18 Nov 2005 19:39 WIB
Oslo - Seorang Wirajudapun mungkin sepakat bahwa dia lebih gampang luluh berhadapan dengan anak-anak daripada diplomat setara. Kehadiran anak-anak Aceh menciptakan efek yang sama.Tidak memakai teori rumit dan bahasa penuh perhitungan. Pesan mereka cuma sederhana. Polos. Khas bahasa anak-anak. "Kami ingin damai. Mari kita semua berdamai. Dukung kami untuk hidup dalam damai, demi masa depan lebih baik."Sesederhana itu. Hanya itu. Tidak diatur dalam protokoler, tidak dengan pernyataan resmi ala Kofi Annan, melainkan dalam suasana bermain riang. Teks itu diselipkan dalam nyanyian. Sambil terus bergerak, menari dan menyanyi di panggung Oslo Konserthus tadi malam (Jumat, 18/11/2005 WIB).Anak-anak Aceh itu menginginkan kesepakatan damai yang telah dicapai orang-orang dewasa di kampungnya agar dibantu dilindungi dan dijaga. Supaya mereka bisa aman bermain, belajar, dan menapaki jalan menuju masa depan. Jangan ada lagi satu pihak menyakiti pihak lain. Jangan lagi GAM dan TNI berantem, lalu mereka harus kehilangan lagi orangtua atau kerabat. Cukup ketakutan itu menjadi masa lalu.Anak-anak dari daerah yang polos-polos itu juga secara implisit mengungkapkan rasa terimakasihnya atas bantuan dan perhatian masyarakat Nowegia ketika mereka ditimpa bencana tsunami. Mereka membalas semua itu dengan memindahkan ladang tempat mereka bermain di Aceh ke hadapan masyarakat Norwegia. Bermain saja, sesuai dengan kebudayaan mereka. Ada permainan martial arts yang dinamai Silat Aulia. Lalu ditampilkan tari Bungong Jeumpa, yang syairnya memuliakan bunga khas Aceh, yang konon amat harum baunya. Setelah itu anak-anak dari Sanggar Nurul Alam (bukan Nurul Iman seperti rilis sebelumnya), memainkan tari Pasai Geleng yang ritmis dan dinamis. Hanya itu, sebagaimana bahasa universal anak-anak di dunia. Namun kehadiran anak-anak Aceh, yang sebagian pernah digulung air bah tsunami dan berhadap-hadapan dengan maut, itu telah membangunkan orang pada kesadaran baru: bahwa di Aceh ada sekelompok jiwa-jiwa suci dan bening, yang tidak boleh musnah sia-sia, menjadi korban konflik yang berlarut-larut. Pada jeda permainan tari Pasai Geleng terlihat banyak penonton Norwegia yang meneteskan airmata. Mungkin mereka teringat penderitaan anak-anak ini, ketika diterjang tsunami dan dicerai-beraikan dari ayah-bundanya terkasih. Atau mungkin mereka takut dan sedih, bahwa keganasan kepentingan orang-orang dewasa di Aceh bakal memusnahkan dan menghancurkan anak-anak itu. Sementara tubuh belia anak-anak itu bergerak riang dan kompak, dari latar belakang syair terus melolong. Jangan ada lagi kebencian dan kekerasan di Aceh. Seperti sebelumnya dikatakan Hasballah M. Saad, "Permusuhan sudah saatnya diganti perdamaian." (es/)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.

Hide Ads