Gugatan itu dilayangkan Ketua Umum Organisasi Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (Aspataki) Saiful Mashud.
"Menyatakan Norma Pasal 54 ayat (1) huruf (a) dan huruf (b) dan Pasal 82 huruf (a) serta Pasal 85 huruf (a) UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia bertentangan dengan Pasal 27 dan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 33 UUD 1945," demikian bunyi tuntutan Saiful sebagaimana tertuang dalam berkas permohonan yang dilansir website Mahkamah Kontitusi (MK), Jumat (6/12/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk dapat memperoleh SIP3MI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1), Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia harus memenuhi persyaratan:
a. memiliki modal disetor yang tercantum dalamakta pendirian perusahaan paling sedikit Rp 5 miliar.
b. menyetor uang kepada bank pemerintah dalam bentuk deposito paling sedikit Rp 1,5 miliar yang sewaktu-waktu dapat dicairkan sebagai jaminan untuk memenuhi kewajiban dalam Pelindungan Pekerja Migran Indonesia;
c. memiliki rencana kerja penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia paling singkat 3 (tahun berjalan; dan memiliki sarana dan prasarana pelayanan penempatan Pekerja Migran Indonesia.
Pasal 54 (2):
Deposito sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, hanya dapat dicairkan oleh Menteri apabila Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia tidak memenuhi kewajiban terhadap Calon Pekerja Migran Indonesia dan/atau Pekerja Migran Indonesia.
Pasal 82 yang berbunyi:
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 15 miliar setiap orang yang dengan sengaja menempatkan Calon Pekerja Migran Indonesia pada:
a. jabatan dan jenis pekerjaan yang tidak sesuai dengan perjanjian kerja sehingga merugikan Calon Pekerja Migran Indonesia tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf a; atau
b. pekerjaan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf b.
Pasal 85 berbunyi ;
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 5 milliar, setiap orang yang :
a. menempatkan Pekerja Migran Indonesia pada pekerjaan yang tidak sesuai dengan Perjanjian Kerja yang telah disepakati dan ditandatangani Pekerja Migran Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf a;
b. menempatkan Pekerja Migran Indonesia pada jabatan yang tidak sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf b;
c. mengalihkan atau memindah tangankan SIP3MI kepada pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf c; atau
d. mengalihkan atau memindah tangankan SIP2MI kepada pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf d.
"Pemohon sangat dirugikan dalam kondisi yang demikian padahal semula Pemohon dapat berusaha dengan baik sebagaimana diatur dalam ketentuan UU 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Pelindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri," ujar Saiful.
Akan tetapi, kata Saiful, setelah timbul UU baru ternyata belum bisa dijalankan dengan baik bahkan karena faktor ketidaksiapan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah maka calon pekerja migran Indonesia sulit mendapatkan haknya dalam berusaha.
"Ketidakjelasan atas ketentuan hukum yang mana yang harus lebih dahulu dijalankan dalam penempatan pekerja migran Indonesia membuat pelaksanaan isi UU No 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia berbeda-beda di setiap Kabupaten/Kota dan memberikan tafsir yang berbeda-beda bahkan tergantung pula dengan anggaran yang tersedia di setiap Kabupaten/Kota. Semua kondisi yang demikian membuat Pemohon dan P3MI lainnya kehilangan kesempatan mempertahankan usaha dan pengembangan usahanya," pungkas Saiful.
Simak Video "Kemenaker Bangun LTSA untuk Melindungi TKI"
(asp/jbr)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini