"Beleid tersebut justru mengembalikan monopoli LPPOM MUI sebagai pemeriksa halal tunggal sebagaimana termuat dalam Diktum Kedua huruf d Nomor 982 Tahun 2019 yang menyatakan 'pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk dilaksanakan oleh LPPOM MUI'. Padahal monopoli LPPOM MUI selama ini menjadi sasaran kritik publik," kata dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, Mustolih Siradj, saat berbincang dengan detikcom, Jumat (6/12/2019).
Menurut Mustolih, sejak terbitnya UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH), banyak pihak yang ragu akan kinerja Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Lahirnya Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 982 Tahun 2019 tentang Layanan Sertifikasi Halal baru-baru ini mengkonfirmasi hal tersebut.
Keputusan Menteri Agama Nomor 982 Tahun 2019 itu dinilai menentang eksistensi norma Pasal 12 ayat 2 UU JPH yang menyatakan:
Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kesempatan yang sama dalam membantu BPJPH melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk.
"Sangat jelas, Pasal 12 UU JPH memandatkan pembentukan Lembaga Periksa Halal (LPH) dapat dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbasis kampus maupun ormas-ormas islam, seperti NU, Muhammadiyah, Perti, Alwasliyah, dan sebagainya. Mereka harus diberi kesempatan yang sama untuk membantu BPJPH, tanpa ada diskriminatif. Tapi Keputusan Menteri Agama Nomor 982 Tahun 2019 memberikan privilege hanya kepada LPPOM MUI. Hal ini tentu saja sangat diskriminatif," kata Mustolih memaparkan.