"Jadi, melihat apa yang dilakukan pemerintah hari ini menjadi sebuah kebijakan yang terlalu berlebihan dan ini mengingatkan kita kepada dulu ya, zaman Orde Baru. Zaman Orde Baru kan juga fenomenanya sama seperti ini," kata Sohibul.
Dia berbicara usai pertemuan dengan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir di Gedung Dakwah PP Muhammadiyah, Jl Menteng Raya, Jakarta Pusat, Rabu (4/12/2019) malam. Keduanya juga sempat membicarakan soal PMA Nomor 29 Tahun 2019 itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, PMA itu terlalu mengintervensi aktivitas sosial keagamaan masyarakat. Dia berharap pemerintah mampu mengakhiri kontroversi ini dengan baik.
Sebelumnya, Wakil Menteri Agama (Wamenag) Zainut Tauhid Sa'adi menegaskan tidak ada sanksi bagi majelis taklim yang tidak mau mendaftar. Masyarakat tidak perlu resah atas adanya PMA tentang Majelis Taklim. Menurutnya, semangat dari PMA ini adalah untuk memfasilitasi layanan publik dan pengaturan database registrasi Kemenag. Ini penting agar masyarakat mengetahui tata cara untuk membentuk majelis taklim dan Kemenag memiliki data majelis taklim dengan baik.
Fungsi pendataan itu supaya Kemenag bisa melakukan pembinaan, penyuluhan, pembekalan materi dakwah, penguatan manajemen dan organisasi, peningkatan kompetensi pengurus, serta pemberdayaan jemaah. Pembinaan termasuk juga pemberian bantuan pemerintah, baik melalui APBN maupun APBD. Majelis taklim juga diatur dalam PMA punya keanggotaan minimal 15 orang.
Dalam Pasal 6 PMA itu, Kemenag sengaja menggunakan diksi 'harus', bukan 'wajib', karena kata 'harus' bersifat lebih ke administratif, sedangkan 'wajib' berdampak sanksi.
Halaman 2 dari 2
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini