Temuan KontraS: Ada 1.384 Kasus Pelanggaran Kebebasan Berekspresi di 2019

Temuan KontraS: Ada 1.384 Kasus Pelanggaran Kebebasan Berekspresi di 2019

Farih Maulana Sidik - detikNews
Senin, 02 Des 2019 19:19 WIB
Temuan KontraS: Ada 1.384 Kasus Pelanggaran Kebebasan Berekspresi di 2019
Konferensi pers KontraS (Farih Maulana/detikcom)
Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyebut ada 1.384 kasus dugaan pelanggaran kebebasan berpendapat, berkumpul, dan berekspresi. Peneliti KontraS Rivanlee menyebut dugaan pelanggaran tersebut didominasi tindakan pembubaran dilakukan oleh aparat kepolisian.

"Khusus buat isu tersebut yang mana tindakan dominannya, yaitu pembubaran. Setelah diselidiki lebih dalam lagi, aktor utama pelanggaran itu adalah aparat kepolisian," ujar Rivan di kantor Dakwah PP Muhammadiyah, Jl Menteng Raya, Jakarta Pusat, Senin (2/12/2019).



SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Rivan mengatakan peristiwa tersebut terjadi dalam tiga aksi massa, yakni aksi May Day di Bandung, aksi 21-23 Mei 2019, dan aksi mahasiswa pada 23-30 September 2019. Menurutnya, dari 1.384 peristiwa itu, muncul kecenderungan baru, yakni mulai adanya ancaman universitas kepada mahasiswa yang turun ke lapangan dalam aksi massa.

"Salah satu yang kita datangi adalah Unpad, dan di Unpad itu sempat salah satu jurusan mengancam bahwa kalau ada mahasiswanya yang turun ke jalan pada 23-30 September diancam nilai E," katanya.


Tonton juga Pemerintah Disarankan Keluarkan Status Untuk Orang Hilang Secara Paksa :



Dia menyebut polisi kerap gagal menangani aksi massa dalam jumlah besar. Hal tersebut, kata Rivan, setidaknya terjadi dalam 3 aksi massa.

"Konteks 3 aksi massa dalam pemantauan KontraS selama ini polisi kerap gagal dalam menangani aksi massa dalam jumlah besar. Jadi 23-30 September sebetulnya mungkin hanya ekor. Kalau dilihat sebelumnya ada contohnya May Day, 21-23 Mei, dan prosesnya kurang-lebih sama," katanya.

KontraS, menurutnya, telah menyerahkan laporan itu ke pihak Kepolisian sebagai bahan evaluasi untuk mencari solusi. Dia berharap ada evaluasi soal pemahaman diskresi agar sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.

"Kedua membangun sistem deteksi dini menyalahgunakan wewenang dalam penanganan aksi besar," katanya.



Ketiga, lanjut dia, evaluasi antar-satuan tingkatan yang harus berjalan. Rivan menilai perbaikan antar-satuan tingkatan itu harus dimulai dari internal kepolisian untuk membangun akuntabilitas dari satuan tingkatan yang selama ini tidak pernah berjalan.

"Terakhir evaluasi terhadap efektivitas pengawasan dari lembaga eksternal, Kompolnas sejauh ini tidak menggunakan kewenangannya secara baik. Misalkan mengusulkan atau berinisiatif melakukan gelar perkara sendiri kemudian mengusulkan bahwa tindakan tertentu tidak bisa berhenti hanya tindakan etik semata," pungkasnya.
Halaman 2 dari 2
(fas/haf)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads