Pernyataan itu disampaikan Herry dalam seminar nasional LIPI yang bertajuk 'Rencana pemindahan Ibukota Negara dan Implikasinya Terhadap Kehidupan Sosial Penduduk' di Widya Graha LIPI, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Kamis (28/11/2019). Hadir juga Kepala Pusat Penelitian Kependudukan LIPI Herry Yogaswara, Deputi Bidang Koordinasi Pemberdayaan Masyarakat Desa dan Kawasan Kemenko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Sonny Harry B. Harmadi, Sekretaris Umum IPADI Turro S. Wongkaren.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ada kelompok masyarakat adat yang mulai kemudian menggugat, kalau ada ibu kota negara jadi ada beberapa syarat dari adat, yang menarik adalah masyarakat adat ingin diakui dari peraturan. Ada Kesultanan Kutai protes karena tanah lahan diklaim negara. Di Penajam Paser Utara ada situasi yang digambarkan sebagai kasus kriminal biasa, kemudian meledak jadi kekerasan seharusnya kekerasan antar masyarakat tapi yang menarik kemudian media mengasosiasikannya menjadi pertarungan antar etnis atau antar suku," ujar Herry.
Herry ingin mencoba melihat pemindahan ibu kota baru dari perspektif yang lebih luas. Dia ingin melihat hubungan masyarakat di ibu kota baru berdasarkan agama dan etnis.
"Saya akan mencoba helikopter view dulu karena itu saya dulu dari awal minta jadi pembicara ketiga. Saya akan mencoba masuk kepada hal-hal yang belum terlalu banyak dibahas. Salah satunya adalah saya coba makai statistik modal sosial tahun 2012. Ada satu hal yang ingin saya lihat tentang relasi antar masyarakat berdasarkan agama dan etnis," ujar dia.
Setelah bicara panjang lebar mengenai perbandingan data antara Kaltim dan provinsi lain, Herry kemudian bicara mengenai konflik kekerasan yang terjadi di ibu kota baru tersebut. Menurut dia, Kaltim merupakan salah satu provinsi yang sering mengalami konflik kekerasan.
"Nah ini saya kira yang ingin saya sampaikan penting untuk melihat beberapa konflik kekerasan yang ada di Kaltim. Kaltim termasuk daerah cukup sering konflik identitas, saya kira ini terkonfirmasi dari berbagai riset di mana banyak usaha tambang perkebunan yang beda di Kaltim walaupun masih beda di bawah Kalteng," ujar dia.
"Jadi mengenai data-data statistik ini ya khususnya konflik di dalam diskusi-diskusi internal yang menyebabkan Kaltim punya nilai rendah adalah problem konflik ini. Jadi pada saat itu menjadi konsep keberterimaan masyarakat," sambung dia.
Herry kemudian menyoroti soal rencana kepindahan ASN ke ibu kota baru. Dalam pandangan Herry, gelombang kepindahan ASN ini akan menyulut reaksi dari masyarakat setempat.
"Jadi izinkan saya pakai istilah migran terpaksa bagi para ASB yang nanti akan dipindahkan walaupun demografi punya nama sendiri. Tapi dari data-data Pak Turro dan sebagainya dan pemetaan, walau ASN harus ditempatkan di mana saja secara teori, tapi karena itu dipindah ada proses force migration. Migrasi swakarsa perlu dihitung lebih baik lagi. Karena begitu kita simpen gula di situ semut-semut akan datang dan saya kira akan mengerubungi. Dan itu akan jauh lebih dari situasi sekarang. Dari penduduk lokal keterancamanan akan tersingkir, adat dan pengakuan negara dan perjumpaan budaya baru yang dibawa oleh pendatang dan saya kira ekspresi-ekspresi diilustrasi tadi memperlihatkan reaksi lokal terhadap perencanaan pemindahan ini," beber dia.
Mitigasi Konflik Terkait Pemindahan Ibu Kota
Menurut Herry, pemindahan ibu kota ini harus disertai dengan adanya mitigasi konflik. Hak-hak lokal harus dihormati.
"Jadi ya perlu ada mitigasilah terhadap konflik. Walau sudah ada angka semua ya untuk kawasan dan sebagainya. Tapi perlu secara clear ditetapkan kemudian dibincangkan di publik sehingga ada pemastian terhadap hak-hak lokal," tutur dia.
Menurut Herry, pemerintah perlu memfasilitasi seluruh kelompok masyarakat. Jangan sampai, kata Herry, hanya kelompok tertentu saja yang lebih dominan.
"Fasilitasi kan bisa juga, bisa dari anggaran misalnya, dan juga di kelompok itu harus ada orang-orang yang memang kredibel ya. Kredibel artinya dipercayai oleh sebagian besar anggota masyarakat begitu. Pertama memfasilitasi dan yang kedua ya pemerintah sendiri nantinya jangan menciptakan satu situasi atau sistem di mana pemilihan pejabat atau apa karena misalnya etnis atau agama tertentu," ungkap Herry.
Selain itu, kata Herry, pemerintah juga harus memberikan kebijakan-kebijakan afirmatif untuk penduduk lokal di Kalimantan Timur. Pemerintah harus mendorong kelompok-kelompok tertentu yang dirasa sulit bersaing agar pemerataan dapat terjadi.
"Saya kira dari Kaltim itu sangat jelas jadi mesti ada kebijakan yang afirmatif artinya ada beberapa afirmatif untuk penduduk lokal dilihat kemampuan dia dalam bersaing, ada kelompok-kelompok yang dirasa sulit bersaing harus memberikan keistimewaan beberapa hal," terang Herry.
Menurut dia, perlu diadakan forum lintas etnis untuk mencegah konflik di proses pemindahan ibu kota. Forum harus dibentuk oleh masyarakat itu sendiri dan bukan bentukan dari pemerintah.
"Musti ada satu forum yang sifatnya lintas etnis agama tapi yang organik ya. Organik itu yang dibentuk dari masyarakat itu sendiri. Tidak karena bentukan pemerintah. Pemerintah hanya memfasilitasilah kalau terjadi mulai ada benih-benih konflik, bisa segera diredam," tutur Herry.
Simak Video "Bareng Pengusaha Jepang, Jokowi Bahas Ibu Kota Baru"
Halaman 2 dari 3
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini