"Dalam naskah pidato Mendikbud untuk memperingati Hari Guru tahun ini, saya melihat, kesejahteraan guru juga belum menjadi perhatian utama. Dari teks pidato yang beredar di media, saya perhatikan Mendkibud lebih banyak memberikan 'arahan' ketimbang 'penghargaan' kepada para guru. Padahal, semangat utama peringatan Hari Guru bertujuan agar semua pihak, terutama pemerintah, untuk menghormati, mengapresiasi, dan meningkatkan kesejahteraan guru. Tapi sayangnya, pesan tersebut tak tercermin dalam pidato Mendikbud tahun ini. Tentunya, ini patut menjadi pertanyaan kita bersama, kenapa isu kesejahteraan guru tidak ada dalam public address Mendikbud?" kata Fadli kepada wartawan, Senin (25/11/2019).
Dia mengatakan masalah kesejahteraan guru merupakan ironi di Indonesia. Fadli mengatakan kunci pendidikan terletak pada kualitas tenaga pengajar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sebagian kekurangan tersebut coba ditutupi dengan guru berstatus P3K (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) dan sisanya, sebanyak 746.121 guru coba dipenuhi oleh pemerintah melalui guru honorer. Namun, keberadaan guru berstatus honorer, menurut saya, bukannya menyelesaikan masalah tapi justru memunculkan masalah baru, di mana kesejahteraan guru honorer ternyata masih sangat jauh dari layak," tuturnya.
Menurut Fadli, banyak masalah terkait pendapatan guru honorer di Indonesia. Misalnya, kata Fadli, ada guru honorer di Pandeglang yang mendapat honor Rp 350 ribu per bulan dan terpaksa tinggal di toilet sekolah.
"Guru honorer di Samarinda yang sudah 10 tahun mengajar, namun bertahan dengan gaji Rp 800 ribu perbulan. Kisah tersebut bisa jadi hanya fenomena gunung es saja. Realita di lapangan, tentunya lebih banyak lagi," ucap Ketua BKSAP DPR ini.
Dia pun menganggap pemerintah tak serius memperbaiki nasib guru honorer. Menurutnya, pemerintah kerap hambat perbaikan kesejahteraan guru honorer dengan hal-hal administratif.
"Jika pemerintah serius dengan nasib guru honorer, semestinya ada prioritas. Jangan sampai, upaya para guru honorer mengubah nasib, dihambat hanya karena persyaratan administrasi dan test yang kerap bersifat formalitas, sementara negara tetap menggunakan mereka dengan kesejahteraan yang minim," kata Fadli.
Hal tersebut diungkapkan Fadli terkait rencana pemerintah mengangkat guru honorer sebagai PNS. Namun, menurut Fadli, para guru honorer yang sudah bekerja puluhan tahun tak kunjung diangkat dengan dalih syarat administrasi.
"Tahun lalu, misalnya, pemerintah menyatakan akan mengangkat minimal 110 ribu guru honorer di seluruh Indonesia setiap tahunnya. Namun sayangya, rencana tersebut tidak didukung oleh komitmen yang kuat. Bulan lalu, Menko Pembangunan dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy menyatakan tahun ini sebenarnya ada kuota 156 ribu pengangkatan guru PNS. Tapi sayangnya, menurut pemerintah, kuota tersebut tak bisa dipenuhi lantaran banyak guru honorer tidak memenuhi syarat. Jika sikap seperti itu yang selalu dikedepankan, menurut saya, pemerintah memang setengah hati memperhatikan guru honorer. Kalau kuota tersedia, dan secara real tenaga guru honorer juga dibutuhkan, kenapa statusnya untuk menjadi PNS dipersulit?" ucap Fadli.
Dia menekankan pemerintas harus segera menyelesaikan masalah kesejahteraan guru honorer yang terkatung-katung. Menurutnya, negara yang abai pada nasib guru sulit untuk maju.
"Bangsa yang abai terhadap guru, pasti akan sulit maju. Karena kualitas generasi penerus salah satunya ditentukan oleh bagaimana negara tersebut mengapresiasi profesi guru. Kualitas generasi harusnya sejalan dengan upaya memprioritaskan sumber daya manusia unggulan," ucap Fadli.
Halaman 3 dari 2
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini