Berdasarkan catatan detikcom, Kamis (21/11/2019), kasus bermula saat perusahaannya mengekspor nikel ke China dalam bentuk mentah sebanyak 222 ribu mt pada 2010 dengan harga Rp 78 miliar. Hal itu diikat lewat perjanjian keperdataan.
Dari Rp 78 miliar, Pemda Kolaka mendapatkan sebesar Rp 15 miliar. Sedangkan sisanya digunakan antara lain untuk jasa pengangkutan Rp 10 miliar, transshipment Rp 6 miliar, pinjam sewa pelabuhan Rp 1,7 miliar dan biaya pengiriman ke China sebesar Rp 4 miliar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sehingga terdapat selisih Rp 24 miliar yang tidak dilaporkan ke negara dan dinikmati sendiri oleh Atto.
"Jika memperhatikan proses terjadinya dan pelaksanaan dari perjanjian jual beli antara Pemerintah Kabupaten Kolaka dengan PT Kolaka Mining International, maka perjanjian jual beli tersebut merupakan 'penyelundupan hukum' dan merupakan indikator terdakwa Atto Sakmiwata Sampetoding sebagai perantara (trader), dalam penjualan nikel kadar rendah milik Pemerintah Kabupaten Kolaka tersebut," kata jaksa dalam dakwaannya.
Jaksa mencium gelagat tidak baik dari transaksi tersebut dan menggelar penyidikan ekspor nikel yang dikeruk dari bumi Sulawesi itu. Jaksa kemudian mendudukkan Atto di kursi pesakitan. Jaksa menuntut Atto dihukum 8 tahun penjara dan hartanya Rp 24 miliar dirampas negara.
Siapa sangka, Atto dibebaskan Pengadilan Tipikor Kendari pada 30 Agustus 2013. Majelis menyatakan hubungan Atto dengan pemerintah adalah hubungan keperdataan yaitu utang piutang Atto dengan Pemda, tapi uang itu digunakan untuk kepentingan pribadi.
Mendapati putusan ini, jaksa terhenyak dan langsung mengajukan kasasi. Gayung bersambut, MA mengabulkan tuntutan tersebut. MA menjatuhkan hukuman 5 tahun penjara.
Duduk sebagai ketua majelis yaitu hakim agung Zaharuddin Utama dengan anggota LL Hutagalung dan Syamsul Rakan Chaniago. Majelis sepakat merampas aset pribadi Atto karena kasus itu terjadi pada 25 Juni 2010 sedangkan PT Kolaka Mining Internasional baru didirikan pada 17 Desember 2010.
"Menghukum terdakwa Atto Sakmiwata Sampetoding membayar yang pengganti Rp 24 miliar dikurangi nilai rumah terdakwa yang disita sebesar Rp 3,4 miliar-Rp 20,6 miliar kepada negara. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama 1 bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti itu. Dalam hal harta benda terpidana tidak mencukupi untuk membayatr maka diganti pidana selama 4 tahun," putus majelis.
Namun putusan ini tidak bulat. Hakim LL Hutagalung menyatakan kasus di atas merupakan kasus perdata dan sebagai pedagang Atto berhak mendapatkan untung. Sebagai pedagang, menjual lebih tinggi dari harga pembelian adalah wajar karena sebagai pedagang berhak mendapatkan untung.
"Maka perkara a quo adalah sengketa perdata, bukan ranah pidana/tipikor," cetus LL Hutagalung.
Saat hendak dieksekusi pada 2014, Atto kabur dan menghilang bak ditelan bumi. Pada Rabu (11) malam, jaksa mendapatkan telepon bila Atto tertahan oleh otoritas Malaysia.
"Terpidana diamankan pada hari Rabu 20 November 2019 sekira pukul 21.00 waktu setempat di Bandara Internasional Kuala Lumpur sesaat setelah ditolak masuk ke wilayah Malaysia oleh otoritas yang berwenang," kata Kapuspenkum Kejagung, Dr Mukri, kepada detikcom, Kamis (21/11/2019).
Mendengar buronannya ada di Malaysia, Tim Tangkap Buron (Tabur) Kejaksaan Agung langsung bergerak cepat. Tim Tabur langsung ke Malaysia untuk menjemput Atto. Pria berusia 60 tahun itu dapat diserahkan kepada Tim Kejaksaan Agung untuk dipulangkan ke Indonesia.
![]() |
"Ini berkat koordinasi yang baik antara Kejaksaan RI, Atase Imigrasi serta Atase Kepolisia KBRI Kuala Lumpur dengan otoritas yang berwenang di Malaysia," ujar Mukri.
Atto tiba di Bandara Soekarno Hatta Cengkareng Jakarta Kamis (21/11) sekitar pukul 08.30 WIB dengan pengawalan Tim Intelijen Kejagung. Atto langsung dibawa ke Rutan Kejaksaan Agung untuk proses eksekusi.
Halaman 2 dari 3
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini