Fadli Zon Wanti-wanti Jokowi: Jangan Tinggalkan Legacy Hancurnya Demokrasi

Fadli Zon Wanti-wanti Jokowi: Jangan Tinggalkan Legacy Hancurnya Demokrasi

Haris Fadhil - detikNews
Kamis, 21 Nov 2019 09:09 WIB
Foto: Fadli Zon (Tsarina/detikcom)
Jakarta - Ketua Badan Kerjasama Antar Parlemen (BKSAP) DPR Fadli Zon mewanti-wanti Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal demokrasi. Dia meminta Jokowi tak meninggalkan legacy atau warisan berupa hancurnya demokrasi di Indonesia.

Waketum Gerindra ini awalnya menyinggung soal periode pertama Jokowi. Menurutnya, ada sejumlah indikator yang menunjukkan kemunduran demokrasi di Indonesia.

"Selama lima tahun pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo, kehidupan demokrasi kita terus mengalami kemunduran. Sejumlah indikator kebebasan sipil kondisinya terus memburuk. Penilaian ini telah dikemukakan berbagai lembaga, baik lembaga internasional maupun dalam negeri," kata Fadli kepada wartawan, Kamis (21/11/2019).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT



Salah satu indikator yang dikutip Fadli adalah survei LSI soal kebebasan sipil di Indonesia. Fadli mengatakan, menurut LSI, ada 43 persen responden yang merasa masyarakat saat ini semakin takut berbicara politik.

"Jumlah ini telah meningkat lebih dari 100 persen dibanding hasil survei tahun 2014, di mana waktu itu yang mengutarakan ketakutan serupa hanya sebesar 17 persen. Dari survei yang sama, diperoleh keterangan jika ketakutan masyarakat ini umumnya dipicu oleh kian maraknya penangkapan semena-mena oleh aparat hukum. Selain takut berbicara politik, orang kini juga cenderung takut berorganisasi. Ada 21 persen responden yang menganggap warga sekarang takut berorganisasi. Angka ini naik dari tahun 2014 yang hanya 10 persen," ucapnya.

Selain itu, dia juga menyebut ada masalah kebebasan berserikat. Menurutnya, masih berdasar survei itu, masayarakat memberi penilaian buruk terhadap kondisi kebebasan pers saat ini.

"38 persen responden yang beranggapan bahwa media massa saat ini tidak bebas dan bahkan disensor pemerintah. Seluruh hasil survei ini hanya menegaskan anggapan umum yang telah berkembang dalam beberapa tahun terakhir bahwa kondisi kebebasan sipil yang menjadi fondasi demokrasi di negeri kita memang terus memburuk. Demokrasi kita mengalamj kemunduran. Hak-hak warga yang dijamin konstitusi untuk menyatakan pendapat baik lisan dan tulisan, kebebasan berekspresi, berserikat dan berkumpul, dirasakan telah dipasung oleh negara," ucapnya.

Indikator kemunduran demokrasi lain yang dikutip Fadli adalah penilaian dari lembaga Economist Intelligence Unit. Fadli menyebut, berdasarkan data dari lembaga itu, indeks demokrasi Indonesia berada di skor 6,39 dan masuk negara berkategori 'flawed democracy' alias demokrasi yang cacat.

"Di ASEAN Indonesia bertengger di urutan ketiga setelah Malaysia dan Filipina. Kita bahkan hanya satu tingkat berada di atas Singapura, yang meskipun perekonomiannya sangat maju, namun demokrasinya bisa disebut agak terbelakang. Temuan-temuan dan indikator ini haruslah menjadi tanda bahaya atau alarm bagi nasib demokrasi kita," tuturnya.

Ada lagi penilaian dari lembaga internasional lain yang dikutip Fadli, yaitu Freedom House, yang merupakan lembaga nirlaba asal Amerika Serikat. Fadli menyebut, berdasarkan penilaian lembaga itu, indeks kebebasan Indonesia terus mengalami penurunan dibanding periode pemerintahan Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).



"Pada masa SBY, status Indonesia masih tergolong sebagai negara 'Bebas' atau free. Namun, di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, status Indonesia kini turun menjadi 'Setengah Bebas' atau Partly Free. Freedom House menyebut kemunduran kebebasan ini salah satunya terjadi karena adanya multitafsir dari undang-undang (UU) ITE atau Informasi dan Transaksi Elektronik, serta kembalinya wewenang sepihak dari pemerintah untuk membubarkan organisasi kemasyarakatan yang dinilai tak sepaham dengan Pancasila. Kondisi ini dianggap sebagai bentuk kemunduran," tuturnya.

Lebih lanjut, Fadli menyebut ada data dari YLBHI soal korban dugaan pelanggaran kebebasan berpendapat di muka umum mulai Januari-Oktober 2019. Berdasarkan data YLBHI, kata Fadli, ada 6.000 korban pelanggaran kebebasan berpendapat.

"Dari jumlah itu, 51 di antaranya bahkan meninggal dan 324 orang di antaranya masuk kategori anak. Dari sisi pelaku, menurut YLBHI, mayoritas pelakunya adalah aparat. Kepolisian menjadi pelaku tertinggi dengan persentase 69 persen, disusul TNI sebesar 7 persen, serta Ormas sebesar 5 persen," ujar Fadli.

Alumnus London School of Economics ini juga menyoroti masalah kebebasan di bidang akademik. Fadli mengutip data Lokataru yang mencatat ada 57 kasus pembatasan kebebasan akademik mulai dari pelarangan hingga pembubaran diskusi.

"Kampus, yang seharusnya menjadi cagar alam kebebasan akademik, kini justru kian mirip lembaga sensor dan sekadar menjadi kepanjangan tangan kepentingan rezim," ucap Fadli.

Dia juga menyinggung praktik outsourcing sejak terbitnya PP nomor 78/2015 yang makin subur. Praktik outsourcing disebutnya juga membuat buruh sulit mendapat status pekerja tetap dan membentuk serikat buruh sehingga jumlah buruh yang tergabung dalam serikat buruh makin menurun.



"Jumlah perusahaan di Indonesia ada sekitar 230 ribu perusahaan. Namun, perusahaan yang memiliki serikat pekerja justru turun dari sebelumnya 14 ribu perusahaan, kini menjadi tinggal 7 ribu perusahaan saja. Di sisi lain, jumlah buruh yang masuk serikat pekerja juga terus mengalami penurunan. Pada awal reformasi, jumlah buruh yang masuk serikat pekerja ada sembilan juta orang. Sekarang, jumlahnya tinggal 2,7 juta saja. Ini tentu saja bukan situasi yang menguntungkan kaum buruh," paparnya.

Fadli menyebut kondisi kemunduran demokrasi berbanding terbalik dengan nawacita Jokowi. Dia berharap Jokowi memperbaiki kondisi tersebut di periode kedua dan tak meninggalkan warisan hancurnya demokrasi.

"Tentu kita tak ingin kehidupan demokrasi kita terus menurun dan memburuk. Presiden harus memperhatikan isu ini. Jangan sampai di akhir periode keduanya kelak, dia akan dikenang sebagai memori buruk oleh warganya. Jangan sampai legacy yang ditinggalkan adalah kemunduran dan hancurnya demokrasi di Indonesia. Jadi, suka atau tidak suka, perlu ada perbaikan iklim demokrasi dalam lima tahun ke depan," pungkas Fadli.
Halaman 2 dari 3
(haf/imk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads