Evaluasi pilkada langsung sendiri memunculkan kembali wacana pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md mengatakan wacana tersebut sudah ditampung dan akan dibicarakan dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Nanti dibahas semuanya. Artinya semua ditampung dulu, semua ide ditampung. Posisi tadi kan KPU yang melapor kalau secara internal nanti kita akan bicara," ujar Mahfud di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (11/11/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mahfud mengatakan pemerintah belum mempunyai sikap terkait usulan evaluasi pilkada. Tapi dia memastikan semua usulan akan dibahas.
"Ada disinggung, tapi tidak dibahas. Tapi pemerintah belum punya pendapat resmi. Kami baru saling lempar ide, jadi belum dibahas dan belum ada kesimpulan. Tapi tentu akan dibahas," tutur Mahfud.
Mahfud belum bisa memastikan sikap pemerintah terkait kepala daerah yang dipilih oleh DPRD. "Dibahas pasti, tapi apa diubah atau nggak itu nanti," sebutnya.
Wacana mengenai pemilihan kepala daerah dipilih DPRD juga pernah muncul beberapa waktu lalu. Ketua KPU Arief Budiman saat itu mengatakan pemilihan kepada daerah lewat DPRD sudah tidak lagi relevan.
"Jadi tidak ada lagi kekhawatiran yang mestinya dijadikan alasan untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah itu ke DPRD," ujar Arief saat menjadi pembicara diskusi 'Ancaman Daulat Rakyat: Pemilihan Kepala Daerah Melalui DPRD', di Kantor APHTN-HAN, Senen, Jakarta Pusat, Kamis (19/4).
Arief mengungkapkan, saat ini penyelenggaraan pilkada sudah semakin baik. Mulai dari anggaran yang sudah transparan, data pemilih yang terorganisasi dengan baik, hingga hasil pemungutan dan perhitungan suara yang terbuka.
"Jadi apa alasan yang paling signifikan? Konflik? Konflik bisa kita petakan," katanya.
Sebelumnya, Tito berencana melakukan evaluasi pilkada langsung. Biaya politik yang tinggi menjadi alasannya.
"Kalau dari saya sendiri justru pertanyaan saya adalah apakah sistem politik pemilu pilkada ini masih relevan setelah 20 tahun? Banyak manfaatnya partisipan demokrasi meningkat. Tapi juga kita lihat mudaratnya ada, politik biaya tinggi. Kepala daerah kalau nggak punya Rp 30 miliar mau jadi bupati, mana berani dia," ujar Tito di kompleks parlemen, Jakarta Selatan, Rabu (6/11).
Tito menyebut pembiayaan politik yang tinggi itu berpotensi memunculkan peluang korupsi. Sebab, menurutnya, untuk menjadi kepala daerah atau wali kota dibutuhkan uang yang tidak sedikit.
Sementara itu, uang penghasilan ketika terpilih nanti tidak sebanding dengan modal pencalonannya. Tito pun tidak kaget jika kepala daerah kerap tertangkap tangan melakukan dugaan korupsi oleh KPK.
"Kalau saya, sebagai mantan Kapolri, ada OTT penangkapan kepala daerah itu bukan suatu kejutan buat saya. Kenapa? Mungkin hampir semua kepala daerah berpotensi melakukan tindak pidana korupsi," katanya.
"Kenapa? Bayangin dia mau jadi kepala daerah bupati modal Rp 30-50 miliar. Gaji (setelah terpilih) taruhlah Rp 200 juta, kali 12 bulan berarti Rp 2,4 miliar, dikali 5 tahun, Rp 12 miliar. Sedangkan keluar Rp 30 miliar. Mau rugi nggak? Apa benar saya ingin mengabdi untuk nusa dan bangsa tapi rugi, bullshit, saya nggak percaya," lanjut Tito.
Halaman 2 dari 3
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini