"Dalam proses perencanaan maupun tahapan pelaksanaan Pileg dan Pilpres, Komnas HAM memberikan catatan terkait tindakan diskriminasi. Komnas HAM tidak menemukan langsung adanya indikasi tindakan diskriminasi yang bernuansa SARA oleh masing-masing tim kampanye," kata Ketua Tim Pemantau Pemilu Komnas HAM Hairansyah, Selasa (29/10/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di medsos terutama marak hoax dan ujaran kebencian menjelang pemungutan suara 17 April maupun setelahnya, pihak yang melakukan tindakan tersebut terutama oknum pegiat sosial dan masyarakat umum," kata Hairansyah.
Karena itu, Komnas HAM merekomendasikan kepada polisi untuk meningkatkan koordinasi pengawasan dengan Bawaslu terkait penindakan pelanggaran pemilu. Selain itu, Komnas HAM meminta polisi memastikan penegakan hukum yang adil, imparsial, dan tidak memihak pada seluruh tahapan pemilu.
"Berkoordinasi dengan Komnas HAM terutama penanganan ujaran kebencian (hate speech) dan diskriminasi ras, etnis, dan agama," kata Hairansyah.
Selain itu, meminta polisi meningkatkan upaya pencegahan adanya potensi pelanggaran dan gangguan keamanan yang bisa menyebabkan konflik sosial di masyarakat. Selain itu, Komnas HAM menyoroti terkait pemastian pemenuhan hak pilih para tahanan dan narapidana.
Perekaman e-KTP untuk para tahanan dan narapidana terkendala aspek teknis dan iktikad baik tiap pemerintah daerah. Komnas HAM menyebut ada 31.184 narapidana atau tahanan di 5 provinsi, yakni Kalimantan Tengah, Jawa Barat, Banten, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan, yang tidak dapat menggunakan hak pilihnya karena terkendala persyaratan e-KTP atau Suket. Mereka tidak tercatat sebagai pemilih.
"Terhadap pemilih yang menjadi tahanan kepolisian relatif bisa terlayani karena adanya TPS terdekat yang mendatangi mereka, tetapi banyak juga yang tidak dapat memilih karena alasan teknis karena ketiadaan KTP dan tingkat keluar-masuk penghuni yang tinggi," kata Hairansyah.
Tak hanya itu, Komnas HAM juga menyoroti pemenuhan hak pilih kelompok rentan lainnya, seperti penyandang disabilitas, pasien rumah sakit, dan masyarakat adat. Komnas HAM menyebut pendataan atau perekaman e-KTP terhadap kelompok ini belum maksimal.
"Misalkan masyarakat adat, sebagai warga negara mereka tidak bisa menggunakan hak pilih karena problem e-KTP di mana wilayah mereka tempat tinggal itu tidak di kategori wilayah administrasi yang sah, misalkan karena di wilayah yang berkaitan dengan hutan lindung, misalnya," ucapnya.
Halaman 2 dari 3
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini