Asal-usul Olok-olok SJW: Berawal dari Video Game

SJW di Medsos

Asal-usul Olok-olok SJW: Berawal dari Video Game

Danu Damarjati - detikNews
Sabtu, 26 Okt 2019 16:53 WIB
Foto ilustrasi (Zaki Alfarabi/detikcom)
Jakarta - 'Dasar SJW!' Makian serupa itu semakin tak asing terlihat di lini masa media sosial. Sasarannya adalah akun atau orang yang mempertahankan argumen kritikan. Sebenarnya, olok-olok dan makian 'SJW' berawal dari isu seputar video gim (game).

Menurut kamus daring Oxford, SJW atau social justice warrior masuk dalam kategori istilah bernada penghinaan (derogatory). Di Indonesia, penggunaannya kadang diiringi dengan istilah sarkas 'netijen maha benar'.



Namun istilah itu bukanlah penghinaan bila digunakan pada awal '90-an di belahan Barat sana. Dilansir The Washington Post, istilah 'social justice warrior' sudah digunakan sejak 1991 untuk menyebut kaum nasionalis Quebec, Kanada. Mereka bangga beridentitas Prancis dan merasa sebagai orang Quebec, bukan orang Kanada.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Foundation for Economics Ideology dalam salah satu tulisan unggahannya menjelaskan, sebenarnya istilah SJW tidak langsung menjadi makian. Pada awalnya, SJW dimaknai sesuai dengan kepanjangannya, 'social justice warrior' atau 'pejuang keadilan sosial'. Tahun 1998, istilah itu dipakai koran The Register Guard di Amerika Serikat (AS) untuk menyebut aktivis pejuang hak tuna wisma. Satu dekade kemudian, istilah itu masih berkesan baik-baik saja.

Tahun 2011, istilah 'social justice warrior' mulai digunakan sebagai istilah hinaan di Twitter. Untuk kali pertamanya, istilah ini didefinisikan secara negatif di Urban Dictionary, situs kamus daring untuk bahasa slang (ragam bahasa tidak resmi dan tidak baku) yang dikerjakan banyak orang (crowdsourcing).

Berikut adalah arti 'social justice warrior' menurut Urban Dictionary, versi tahun 2017, diakses detikcom pada Sabtu (26/10/2019):

"Seseorang yang memanfaatkan perjuangan hak-hak masyarakat sipil sebagai alasan untuk bersikap kasar, merendahkan, dan kadang-kadang mengandung kekerasan, tujuannya untuk melepaskan rasa frustasi atau memvalidasi superioritas moral mereka yang tak beralasan. Perilaku social justice warrior (pejuang keadilan sosial) biasanya punya akibat negatif pada gerakan hak sipil, membalikan arah sekutu potensial dan menyulut perlawanan dari kelompok bigot penarik massa yang terbakar atau dibungkam oleh social justice warrior."

Gamergate

Ada sebuah isu kontroversial di kalangan pendemen video gim pada 2014. Isu kontroversial itu dikenal sebagai 'gamergate'. Kasus inilah yang membuat penggunaan istilah 'social justice warrior' atau 'SJW' menjadi hinaan.

Kasus gamergate sendiri adalah skandal antara pengembang video gim berjenis kelamin perempuan dan pengulas (reviewer) gim berjenis kelamin laki-laki.

Dilansir The Guardian, Pengembang gim independen perempuan itu bernama Zoe Quinn, pernah menjalin asmara dengan pria penulis dan pengulas produk gim bernama Eron Gjoni. Mereka putus hubungan pada Maret 2014. Empat bulan kemudian, muncul unggahan daring soal Zoe Quinn berisi fitnah.



Fitnah itu menyebutkan, Zoe berhubungan seksual dengan Gjoni supaya gim buatan Zoe mendapatkan review positif dari Gjoni. Muncul kelompok yang mengkritisi hubungan asmara antara developer gim perempuan dengan jurnalis demi mendapatkan liputan gim yang positif. Kelompok ini kemudian dikenal sebagai gamergater.

Asal-usul Olok-olok SJW: Berawal dari Video GameFoto: Zoe Quinn (AFP Photo/Josh Edelson)


Gamergater juga mengeluh soal dukungan jurnalis gim terhadap gim Twine yang sederhana namun diapresiasi setinggi langit. Gim Twine kebetulan disukai oleh kelompok feminis dan aktivis gender. Seiring serangan gamergater, muncul isu diskriminasi kaum perempuan di dunia video gim.

Perseteruan gim ini kemudian merembet ke masalah-masalah hak kaum perempuan, kaum minoritas, dan kaum yang termarginalkan. Di forum Reddit, Gamergater semakin menyebarkan bully bernada seksisme, merendahkan perempuan atau gender yang berbeda.



Sejak saat itulah Gamergater menyebut orang-orang yang membela hak-hak kaum perempuan, feminis, dan masalah sosial yang berlawanan dengan mereka itu sebagai 'social justice warrior' atau 'SJW'. Itu bukan sanjungan, melainkan olok-olok untuk merendahkan kelompok seteru.

"Dengan kata lain, konotasi negatif pertama dari 'social justice warrior' muncul saat orang-orang mencari sebuah kata untuk mendeskripsikan mereka yang terlibat dalam debat keadilan sosial demi kepentingan diri sendiri atau demi alasan tidak tulus lainnya, seperti memoles reputasi mereka. Mereka dibedakan dari kelompok yang benar-benar tulus berjuang," demikian tulis Abby Ohlheiser di Washington Post.

Sorotan ke debat medsos

Akhir-akhir ini di Indonesia, para pengguna media sosial mulai menggunakan istilah 'social justice warrior' untuk memaki. Padahal, kebebasan berbicara tak boleh diolok-olok, apalagi bila kebebasan itu digunakan untuk tujuan yang baik.

Kebebasan berbicara di internet menghidupkan perdebatan logis yang sulit dilakukan di dunia nyata. Namun di sisi lain, ada yang bersembunyi di balik layar layar ponsel, monitor, atau keyboard komputer. Perdebatan tak lagi bertujuan mulia melainkan sekadar adu ngotot-ngototan demi kemenangan. Mereka berani ngotot karena identitas aslinya aman tertutupi akun media sosial.

"Dilema hari ini: ketika adu gagasan itu cenderung terobjektivasi di ruang-ruang digital--yang kapasitasnya dibatasi, minim momen tatap muka dan keleluasaan interaksinya hampir nihil--menjadikan simbol-simbol yang merepresentasikan gagasan, tak pernah tampil utuh. Keadilan sosial yang diperjuangkan, terjebak dalam kedangkalan," tutur pemerhati budaya dan komunikasi digital dari LITEROS.org, Firman Kurniawan S, kepada detikcom.



Perdebatan menjadi cetek dan penuh olok-olok. Pengguna media sosial memilih berada di pihak 'pembela hak kaum tertindas' semata-mata demi mendapat citra positif di media sosial.

"Ketika itu yang terjadi, bukankah SJW yang bernada peyoratif adalah kita semua: yang enggan adu argumentasi lewat keutuhan interaksi. Dan lebih memilih ruang digital, seraya larut dalam pusaran perdebatan demi perdebatan. Walaupun popularitas, sering jadi ganjarannya?" ujarnya mengajak berefleksi.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads