PDIP soal Penyeimbang di Pemerintah: Masih Ada PAN-PKS-PD

PDIP soal Penyeimbang di Pemerintah: Masih Ada PAN-PKS-PD

Audrey Santoso - detikNews
Rabu, 23 Okt 2019 08:31 WIB
Eva Kusuma Sundari (Pradito R Pertana/detikcom)
Jakarta - PDI Perjuangan tak sependapat jika langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) menggandeng Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto masuk kabinet dianggap berpotensi menciptakan pemerintah yang berkuasa penuh. Eva mengatakan meski Gerindra merapat, namun Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Demokrat (PD) berada di luar pemerintah.

"Toh PAN-PKS-PD tetap di luar pemerintah," kata politikus PDIP Eva Kusuma Sundari kepada wartawan, Rabu (23/10/2019).


Eva menjelaskan, di masa Orde Lama dan Orde Baru, tak dikenal istilah oposisi dalam perpolitikan Tanah Air. Istilah tersebut digunakan saat Era Reformasi. Menurut Eva, gaya berpolitik Indonesia yang tepat adalah yang bermusyawarah untuk mencapai mufakat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Selama zaman Orla (Orde Lama) and Orba (Orde Baru) tidak pernah ada oposisi. Kita kenal oposisi justru sejak reformasi yang praktek seperti parlementer. Menurutku sudah saatnya kita praktikkan demokrasi Pancasila, musyawarah mufakat, di mana di dalamnya ada fungsi kritis, dialektik," ujar Eva.

"Kata Bung Karno: dalam musyawarah kita boleh berbantah, debat, adu argumen, tapi akhirnya sampai ke mufakat," sambung Eva.

Ketua DPP PDIP Hendrawan Supratikno juga menepis anggapan bahwa pemerintah akan menjadi superpower dengan bergabungnya oposisi. Dia lalu menyinggung konsep gotong royong.

"Sesungguhnya politik nasional kita dari dulu cenderung lebih akomodatif dan inklusif. Bila ditelusuri, akar sejarahnya ada pada konsepsi gotong royong yang ada di hampir semua budaya suku di Nusantara. Budaya komunalisme dan kolektivisme yang lebih menekankan kebersamaan dan harmoni," tutur Hendrawan.


Dia menilai gaya demokrasi seperti di negara Barat yang sangat liberal dan berkembang dengan narasi kontestasi adalah kontrastasi, berdampak pada kehidupan sosial di Indonesia.

"Berembusnya demokrasi liberal dengan nilai-nilai individualisme sedikit mengoyak anyaman sosial masyarakat kita. Dalam Demokrasi Barat, narasi yang dikembangkan dalam kontestasi adalah kontrastasi, mengutamakan perbedaan, melihat kelemahan pihak lawan sebagai peluang dominasi atau hegemoni," jelas Hendrawan.

"Repotnya, kita terseret dengan demokrasi gaya adversarial sarat rivalitas ini, demokrasi gaya 'cowboy' ini. Mari kita kembangkan demokrasi musyawarah untuk mufakat," imbuh dia.

Pengamat politik dari Universitas Diponegoro Semarang, Teguh Yuwono, sebelumnya menyatakan kekhawatiran tentang tidak adanya kelompok penyeimbang jika oposisi bergabung dengan pemerintah. Dia khawatir akankah pemerintahan tetap berjalan dengan pengawasan atau menjadi pemerintahan dengan kekuatan tunggal.

"Positifnya kalau gabung, ketegangan politik turun, program pemerintah cepat jalan tanpa direcoki dengan yang belum menerima kekalahan. Ya negatifnya tidak ada lagi kekuatan penyeimbang pemerintah. Seperti kekuatan tunggal," kata Teguh pada detikcom, Selasa (22/10/2019).

Sisi buruk lainnya, lanjut Teguh, jika ada oknum jahat akan melancarkan korupsi, makin mudah. Maka harus diperkuat langkah-langkah antisipasi korupsi di pemerintahan. "Ini skenario yang kita lihat saja, hasilnya minimal bisa kita lihat 6 bulan pertama di kabinet 'gemuk' ini," katanya.

Halaman 2 dari 3
(aud/mae)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads