"Jika profesional lebih banyak, tentu positif karena profesional nonpartai, biasanya lebih fokus dari menteri dari parpol. Jadi mengapa (jumlah menteri nonpartai) lebih banyak? Profesional. Hal itu justru menunjukkan Jokowi lebih independen dalam memilih para pembantunya," kata Harris kepada wartawan, Rabu (23/10/2019).
Selain itu, kata Harris, banyaknya menteri dari nonpartai untuk menunjukkan bahwa Jokowi enggan terikat atau terbatas dengan pembagian kursi menteri-menteri dari partai pengusung, mengingat selama ini isu Jokowi dibuat pusing memikirkan jatah parpol sempat mencuat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal senada disampaikan peneliti LIPI, Siti Zuhro. Dia menilai ada dua tujuan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat memutuskan mengambil lebih banyak menteri berlatarbelakang profesional dibanding partai politik. Pertama, Jokowi ingin memastikan visi-misinya terlaksana dan yang kedua, dia ingin menunjukkan keseriusannya menata Indonesia kepada publik.
"Tidak tertutup kemungkinan menteri nonpartai dilebihkan sedikit agar mesin kabinet bisa efektif dan pemerintahan yang governability, bisa diwujudkan. Meskipun jumlahnya tidak terpaut sangat banyak, sekaligus ini bisa untuk meyakinkan publik bahwa kabinet Jokowi-Ma'ruf serius akan mengeksekusi program-program kerja sesuai visi-misinya," kata Siti.
Siti kemudian menyoroti nama-nama lama yang dipakai Jokowi pada masa kepemimpinannya yang kedua. Menurut dia, Jokowi harus mengungkapkan alasannya mempertahankan para pembantunya tersebut karena beberapa dari mereka, sebut Siti, menyumbang sentimen negatif masyarakat terhadap Pemerintah.
"Seyogyanya hasil kinerja kementerian yang tidak memuaskan, maka menjadi catatan penting Presiden dalam merekrut para menteri. Para menteri yang bekerja baik dan mendapat pengakuan publik patut dipertimbangkan untuk dilanjutkan di periode kedua," tutur Siti.
Salah satu menteri yang membuat publik gusar, kata Siti Zuhro, adalah Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya. Menurut dia, Siti Nurbaya saat ini masih meninggalkan persoalan kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
"Sebaliknya, bila menteri-menteri tidak performed well, tidak patut untuk dilanjutkan. Ini penting agar ada tolok ukur yang jelas dalam merekrut menteri. Apa kriterianya merekrut menteri sehingga publik pun mengetahui kriteria itu," sambung dia.
"Artinya harus ada kejelasan supaya publik tercerahkan," imbuh Siti.
Halaman 2 dari 3
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini